This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Bersama Dr. KH. Moh. Hamdan Rasyid, MA, Kepala Bidang Takmir Mesjid Raya Jakarta Islamic Centre Jakarta, "Dakwah itu kewajiban kita, lakukan yang terbaik untuk umat ! semoga Allah selalu merahmatimu...

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.


Jumat, 16 Januari 2009

SOSOK SUFI SEJATI

Dalam Islam, tasawuf merupakan aspek penting yang mempunyai porsi besar dalam mewarnai corak keberagamaan dan sebagai jalur resmi pendakian spiritual, tasawuf banyak menimbulkan sikap kontroversi. Dalam tasawuf, dijelaskan sedemikian rupa bagaimana mengharmoniskan hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dan sesamanya, manusia dan dirinya sendiri, serta manusia dan anggota-anggota masyarakatnya, sehingga terbentuk pribadi yang mempesona (insân kâmil) yang mampu berkomunikasi langsung dengan Tuhannya tanpa mengisolasi diri dari realitas kehidupan.
Sufi bukan hanya orang yang mementingkan formalitas agama tanpa memahami esensinya. Dengan kata lain, sufi sejati adalahmereka yang mampu mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari élan-dasar dari setiap ritualitas ibadah yang senantiasa mereka kerjakan. Karena pesan terdalam dari setiap agama tak lain adalah moralitas. Baik agama samawi maupun agama ardhi melandaskan setiap ajarannya pada aspek moral.
Formalitas agama tidak sepenuhnya menjamin kesalehan individual, apalagi kesalehan sosial. Memang benar, bagi seorang yang beragama menjalankan ritualitas keagamaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Begitu juga dengan ajaran-ajaran yang bersifat baku dan irrasional lainnya, diperlukan tingkat loyalitas dan keyakinan penuh sebagai dasar untuk melaksanakannya.
Ironisnya, kita banyak menemukan orang yang sangat taat menjalankan formalitas agamanya, tetapi tidak bisa diterima dengan baik oleh lingkungannya, malahan mereka dicap sebagai orang yang individualis yang tidak mempunyai kepedulian sosial dan kepekaan lingkungan yang tinggi.
Antara Tasawuf dan Syari’ah
Menurut Harun Nasution, intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhannya dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan ini dapat mengambil bentuk ittihâd (union mystic); bersatu dengan Tuhan.
Nampaknya inilah yang menjadi akar perdebatan panjang antara tasawuf dan syari’ah. Bagi yang setuju dengan praktek-praktek tasawuf menyatakan bahwa sebenarnya tasawuf merupakan perkembangan esoterik yang sedikit banyaknya memang terkena pengaruh dari luar. Misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan) dan praktek-praktek monastic dari Nashrani, menjalani peniadaan diri (nirwana) dari Budhisme, keinginan untuk mengetahui Realitas Mutlak melalui pemurnian jiwa dan iluminasi dari gnotisme, serta pandangan kegandaan (multiplicity) dari kebersatuannya Neoplatonisme.
Sementara bagi orang yang kontra dengan praktek-praktek tasawuf secara tegas menyatakan kekufuran terhadap mereka yang menjalankan praktek-praktek sufisme tersebut. Mereka beralasan bahwa praktek-praktek tasawuf telah banyak menyimpang dari apa yang digariskan oleh Rasulullah Saw, seperti faham wahdatul wujud (unity of existency) dan imanesinya Tuhan. Ini semua jelas-jelas bertentangan dengan doktrin-doktrin fundamental dalam Islam.
Selanjutnya kalau kita lihat fenomena lain, yaitu praktek-praktek syari’ah itu sendiri, ternyata tidak sepenuhnya bersih dari cacad. Artinya, sebegitu banyak kita menemukan orang-orang yang hanya mementingkan aspek-aspek lahiriah (eksoteris) saja tanpa menggubris sedikitpun terhadap aspek-aspek batiniyah (esoteris). Sehingga yang didapat adalah formalitas agama tanpa substansi atau sekedar penunaian seruan agama yang dimanfaatkan untuk meraih kepentingan diri sendiri yang cenderung bersifat duniawi.
Sebaliknya, rasa keagamaan adalah pemahaman secara intens dan pengamalan, sehingga terjadi keselarasan dalam hidup menyembah Tuhan dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu, agama dan pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan yang memang penuh tantangan.
Syari’ah dan Haqiqah
Syeikh Ahmad Sirhindi mengartikan kata syariah dalam dua makna. Pertama, dalam pengertian biasa, yaiu undang-undang atau peraturan yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang berkenaan dengan aspek ibadah, moralitas, kemasyarakatan, ekonomi, dan pemerintahan. Kedua, dalam pengertian luas yang mencakup semua aspek kepercayaan, nilai dan ideal, pengakuan akan adanya realitas transendental: Tuhan, malaikat, hari kiamat, wahyu, kerasulan, dan lainnya, serta semua metode pendakian spiritual dalam upaya mencari keridhaan ilahi.
Sedangkan haqiqah dalam kepustakaan sudi berarti persepsi atas realitas menurut pengetahuan mistik; dan ia amat berbeda dengan pemahaman rasional atas kenyataan sebagaimana yang dirumuskan oleh para filosof di satu pihak, dan juga keimanan sebagaimana yang diyakini oleh orang awam di lain pihak. Pengertian ini biasanya dikemukakan dalam konsep ma’rifah.
Bagi para sufi, haqiqah lebih sering dipandang sebagai makna sesungguhnya dari kehidupan agamis. Misalnya saja tentang realitas (haqiqah) iman, ketulusan dan tauhid; apakah makna sesungguhnya dari esensi ibadah, salat, dan zikir; apakah arti sesungguhnya dari cinta, takut, khusyuk, bersyukur, bersabar, berserah diri, dan menerima (ridha); serta apakah sebenarnya makna keseluruhan takwa, ihsan, dan kesempurnaan kehidupan beragama.
Bagaimana para sufi memandang kenyataan-kenyataan tersebut (haqaiq)? Apakah mereka percaya bahwa syari’ah telah mendefinisikannya, mengungkapkannya dengan jelas dan pasti tentang apa yang mereka maksudkan, serta menjelaskan bagaimana mewujudkannya secara benar dan utuh? Ataukah ada piranti lain untuk memahami realitas tersebut, seperti melewati pengetahuan dan pengalaman mistiknya para sufi, kasyaf dan penglihatan batinnya, serta melalui thariqah dan suluk guna menguasainya. Pendeknya, apakah hubungan antara syari’ah dan haqiqah?
Terhadap pertanyaan ini muncul berbagai pandangan di kalangan para sufi. Satu pandangan menyatakan bahwa syari’ah telah mendefinisikan apakah sesungguhnya kehidupan agamis yang benar itu. Syari’ah bukan sekedar kumpulan kode atau peraturan yang mengatur tindak lahiriah. Tetapi syari’ah juga menjelaskan tentang makna keimanan, tauhid, cinta, syukur, sabar, ibadah, zikir, jihad, takwa, dan ihsan, serta menunjukkan bagaimana caranya menggapai realitas tersebut. Syari’ah berkaitan dengan perilaku lahiriah dan juga keadaan batiniyah dari fikiran dan kehendak; dengan iman dan kebajikan, motif dan niat; perasaan dan emosi. Itulah kedua bentuk (shurah) dan kenyataan (haqiqah). Syari’ah adalah kesatuan yang utuh.
Pandangan lain yang juga banyak dianut para sufi adalah pendapat yang menyatakan bahwa syari’ah sesungguhnya merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiriah. Syari’ah berkaitan erat dengan struktur lahiriah kehidupan agamis, tetapi tidak berkaitan dengan kenyataan batiniah. Kenyataan iman dan kehidupan agamis terletak di luar jangkauan syari’ah. Syari’ah tanpa haqiqah ibaratnya seperti sosok tanpa kenyataan, tulang tanpa sumsum, atau sekam tanpa isi.
Patuhi Syari’ah
Namun demikian, sebagian besar kaum sufi yang memiliki pandangan kedua tersebut tetap mematuhi ketentuan syari’ah. Mereka menjauhi apa yang dilarang oleh syari’ah, melaksanakan apa yang diwajibkan, dan menunaikan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di setiap waktu mereka mungkin terlepas dari syari’ah.
Tetapi ada juga sekelompok kecil dari kalangan sufi yang berpendapat bahwa mereka diwajibkan menaati syari’ah sampai mereka mencapai ma’rifah. Setelah mencapai ma’rifah, maka kewajiban yang ditetapkan oleh syari’ah tidak berlaku lagi bagi mereka. Apabila mereka tetap melaksanakan syari’ah, maka dasarnya bukan karena mereka memerlukannya, tetapi karena mereka mengharapkan agar orang-orang yang belum mencapai pemahaman atas kebenaran hakiki tetap tunduk dan patuh menjalankan syari’ah. Mereka beranggapan bahwa syari’ah hanya diperuntukkan bagi orang awam yang belum mengetahui kebenaran sejati. Sementara bagi mereka yang telah mencapai tingkat pemahaman sejati, tidaklah perlu mentaatinya.
Faktor-faktor lain yang mendorong kaum sufi untuk secara tidak sabar meletakkan haqiqah di luar syari’ah adalah sikap pribadinya. Bagi sebagian orang, mereka beranggapan bahwa kehidupan bertafakkur, berserah diri, zikir, dan merenung merupakan kehidupan sejati dan lebih nyata dibandingkan dengan kehidupan yang menggabungkan antara zikir dan pelayanan terhadap sesama manusia, keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, perjuangan untuk tatanan masyarakat yang demokratis dan adil, dakwah, dan jihad.
Sufi yang bersikap seperti ini akan cenderung mengecilkan pentingnya kehidupan sosial-kemasyarakatan dan hanya mementingkan pengalaman-pengalaman spiritual yang bersifat pribadi dan tertutup, seperti fana dan ma’rifah.
Sufi sejati hanyalah orang yang dapat menggabungkan keduanya, yaitu aspek tasawuf dan aspek syari’ah. Kemudian mengamalkannya dengan seimbang, karena keduanya merupakan dua sisi mata uang dari kehidupan beragama yang hakiki.
Mereka yang hanya mementingkan aspek syari’ah tanpa melandaskannya pada aspek batiniyah, hanya akan mendapatkan kehampaan belaka. Hal ini disebabkan karena hati mereka tidak pernah tersentuh oleh sifat-sifat ketuhanan yang sepenuhnya didapat dari praktek-praktek tasawuf melalui berbagai macam olah ruhani yang tidak mudah.
Begitu juga sebaliknya, mereka yang hanya mementingkan aspek tasawuf tanpa mengindahkan aturan-aturan formal syari’ah, hanya akan menjadi manusia yang individualis yang cenderung mengisolasi diri dari realitas kehidupan dan kurang memberikan manfaat bagi orang-orang yang hidup di sekelilingnya.
Wallahu A’lamu bishshawab.

SOSOK SUFI SEJATI

Dalam Islam, tasawuf merupakan aspek penting yang mempunyai porsi besar dalam mewarnai corak keberagamaan dan sebagai jalur resmi pendakian spiritual, tasawuf banyak menimbulkan sikap kontroversi. Dalam tasawuf, dijelaskan sedemikian rupa bagaimana mengharmoniskan hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dan sesamanya, manusia dan dirinya sendiri, serta manusia dan anggota-anggota masyarakatnya, sehingga terbentuk pribadi yang mempesona (insân kâmil) yang mampu berkomunikasi langsung dengan Tuhannya tanpa mengisolasi diri dari realitas kehidupan.
Sufi bukan hanya orang yang mementingkan formalitas agama tanpa memahami esensinya. Dengan kata lain, sufi sejati adalahmereka yang mampu mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari élan-dasar dari setiap ritualitas ibadah yang senantiasa mereka kerjakan. Karena pesan terdalam dari setiap agama tak lain adalah moralitas. Baik agama samawi maupun agama ardhi melandaskan setiap ajarannya pada aspek moral.
Formalitas agama tidak sepenuhnya menjamin kesalehan individual, apalagi kesalehan sosial. Memang benar, bagi seorang yang beragama menjalankan ritualitas keagamaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Begitu juga dengan ajaran-ajaran yang bersifat baku dan irrasional lainnya, diperlukan tingkat loyalitas dan keyakinan penuh sebagai dasar untuk melaksanakannya.
Ironisnya, kita banyak menemukan orang yang sangat taat menjalankan formalitas agamanya, tetapi tidak bisa diterima dengan baik oleh lingkungannya, malahan mereka dicap sebagai orang yang individualis yang tidak mempunyai kepedulian sosial dan kepekaan lingkungan yang tinggi.
Antara Tasawuf dan Syari’ah
Menurut Harun Nasution, intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhannya dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan ini dapat mengambil bentuk ittihâd (union mystic); bersatu dengan Tuhan.
Nampaknya inilah yang menjadi akar perdebatan panjang antara tasawuf dan syari’ah. Bagi yang setuju dengan praktek-praktek tasawuf menyatakan bahwa sebenarnya tasawuf merupakan perkembangan esoterik yang sedikit banyaknya memang terkena pengaruh dari luar. Misalnya mereka dianggap mewarisi asketisme (kepertapaan) dan praktek-praktek monastic dari Nashrani, menjalani peniadaan diri (nirwana) dari Budhisme, keinginan untuk mengetahui Realitas Mutlak melalui pemurnian jiwa dan iluminasi dari gnotisme, serta pandangan kegandaan (multiplicity) dari kebersatuannya Neoplatonisme.
Sementara bagi orang yang kontra dengan praktek-praktek tasawuf secara tegas menyatakan kekufuran terhadap mereka yang menjalankan praktek-praktek sufisme tersebut. Mereka beralasan bahwa praktek-praktek tasawuf telah banyak menyimpang dari apa yang digariskan oleh Rasulullah Saw, seperti faham wahdatul wujud (unity of existency) dan imanesinya Tuhan. Ini semua jelas-jelas bertentangan dengan doktrin-doktrin fundamental dalam Islam.
Selanjutnya kalau kita lihat fenomena lain, yaitu praktek-praktek syari’ah itu sendiri, ternyata tidak sepenuhnya bersih dari cacad. Artinya, sebegitu banyak kita menemukan orang-orang yang hanya mementingkan aspek-aspek lahiriah (eksoteris) saja tanpa menggubris sedikitpun terhadap aspek-aspek batiniyah (esoteris). Sehingga yang didapat adalah formalitas agama tanpa substansi atau sekedar penunaian seruan agama yang dimanfaatkan untuk meraih kepentingan diri sendiri yang cenderung bersifat duniawi.
Sebaliknya, rasa keagamaan adalah pemahaman secara intens dan pengamalan, sehingga terjadi keselarasan dalam hidup menyembah Tuhan dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu, agama dan pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan yang memang penuh tantangan.
Syari’ah dan Haqiqah
Syeikh Ahmad Sirhindi mengartikan kata syariah dalam dua makna. Pertama, dalam pengertian biasa, yaiu undang-undang atau peraturan yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang berkenaan dengan aspek ibadah, moralitas, kemasyarakatan, ekonomi, dan pemerintahan. Kedua, dalam pengertian luas yang mencakup semua aspek kepercayaan, nilai dan ideal, pengakuan akan adanya realitas transendental: Tuhan, malaikat, hari kiamat, wahyu, kerasulan, dan lainnya, serta semua metode pendakian spiritual dalam upaya mencari keridhaan ilahi.
Sedangkan haqiqah dalam kepustakaan sudi berarti persepsi atas realitas menurut pengetahuan mistik; dan ia amat berbeda dengan pemahaman rasional atas kenyataan sebagaimana yang dirumuskan oleh para filosof di satu pihak, dan juga keimanan sebagaimana yang diyakini oleh orang awam di lain pihak. Pengertian ini biasanya dikemukakan dalam konsep ma’rifah.
Bagi para sufi, haqiqah lebih sering dipandang sebagai makna sesungguhnya dari kehidupan agamis. Misalnya saja tentang realitas (haqiqah) iman, ketulusan dan tauhid; apakah makna sesungguhnya dari esensi ibadah, salat, dan zikir; apakah arti sesungguhnya dari cinta, takut, khusyuk, bersyukur, bersabar, berserah diri, dan menerima (ridha); serta apakah sebenarnya makna keseluruhan takwa, ihsan, dan kesempurnaan kehidupan beragama.
Bagaimana para sufi memandang kenyataan-kenyataan tersebut (haqaiq)? Apakah mereka percaya bahwa syari’ah telah mendefinisikannya, mengungkapkannya dengan jelas dan pasti tentang apa yang mereka maksudkan, serta menjelaskan bagaimana mewujudkannya secara benar dan utuh? Ataukah ada piranti lain untuk memahami realitas tersebut, seperti melewati pengetahuan dan pengalaman mistiknya para sufi, kasyaf dan penglihatan batinnya, serta melalui thariqah dan suluk guna menguasainya. Pendeknya, apakah hubungan antara syari’ah dan haqiqah?
Terhadap pertanyaan ini muncul berbagai pandangan di kalangan para sufi. Satu pandangan menyatakan bahwa syari’ah telah mendefinisikan apakah sesungguhnya kehidupan agamis yang benar itu. Syari’ah bukan sekedar kumpulan kode atau peraturan yang mengatur tindak lahiriah. Tetapi syari’ah juga menjelaskan tentang makna keimanan, tauhid, cinta, syukur, sabar, ibadah, zikir, jihad, takwa, dan ihsan, serta menunjukkan bagaimana caranya menggapai realitas tersebut. Syari’ah berkaitan dengan perilaku lahiriah dan juga keadaan batiniyah dari fikiran dan kehendak; dengan iman dan kebajikan, motif dan niat; perasaan dan emosi. Itulah kedua bentuk (shurah) dan kenyataan (haqiqah). Syari’ah adalah kesatuan yang utuh.
Pandangan lain yang juga banyak dianut para sufi adalah pendapat yang menyatakan bahwa syari’ah sesungguhnya merupakan kode hukum yang mengatur kehidupan lahiriah. Syari’ah berkaitan erat dengan struktur lahiriah kehidupan agamis, tetapi tidak berkaitan dengan kenyataan batiniah. Kenyataan iman dan kehidupan agamis terletak di luar jangkauan syari’ah. Syari’ah tanpa haqiqah ibaratnya seperti sosok tanpa kenyataan, tulang tanpa sumsum, atau sekam tanpa isi.
Patuhi Syari’ah
Namun demikian, sebagian besar kaum sufi yang memiliki pandangan kedua tersebut tetap mematuhi ketentuan syari’ah. Mereka menjauhi apa yang dilarang oleh syari’ah, melaksanakan apa yang diwajibkan, dan menunaikan apa yang dianjurkan. Mereka tidak pernah berfikir bahwa di setiap waktu mereka mungkin terlepas dari syari’ah.
Tetapi ada juga sekelompok kecil dari kalangan sufi yang berpendapat bahwa mereka diwajibkan menaati syari’ah sampai mereka mencapai ma’rifah. Setelah mencapai ma’rifah, maka kewajiban yang ditetapkan oleh syari’ah tidak berlaku lagi bagi mereka. Apabila mereka tetap melaksanakan syari’ah, maka dasarnya bukan karena mereka memerlukannya, tetapi karena mereka mengharapkan agar orang-orang yang belum mencapai pemahaman atas kebenaran hakiki tetap tunduk dan patuh menjalankan syari’ah. Mereka beranggapan bahwa syari’ah hanya diperuntukkan bagi orang awam yang belum mengetahui kebenaran sejati. Sementara bagi mereka yang telah mencapai tingkat pemahaman sejati, tidaklah perlu mentaatinya.
Faktor-faktor lain yang mendorong kaum sufi untuk secara tidak sabar meletakkan haqiqah di luar syari’ah adalah sikap pribadinya. Bagi sebagian orang, mereka beranggapan bahwa kehidupan bertafakkur, berserah diri, zikir, dan merenung merupakan kehidupan sejati dan lebih nyata dibandingkan dengan kehidupan yang menggabungkan antara zikir dan pelayanan terhadap sesama manusia, keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, perjuangan untuk tatanan masyarakat yang demokratis dan adil, dakwah, dan jihad.
Sufi yang bersikap seperti ini akan cenderung mengecilkan pentingnya kehidupan sosial-kemasyarakatan dan hanya mementingkan pengalaman-pengalaman spiritual yang bersifat pribadi dan tertutup, seperti fana dan ma’rifah.
Sufi sejati hanyalah orang yang dapat menggabungkan keduanya, yaitu aspek tasawuf dan aspek syari’ah. Kemudian mengamalkannya dengan seimbang, karena keduanya merupakan dua sisi mata uang dari kehidupan beragama yang hakiki.
Mereka yang hanya mementingkan aspek syari’ah tanpa melandaskannya pada aspek batiniyah, hanya akan mendapatkan kehampaan belaka. Hal ini disebabkan karena hati mereka tidak pernah tersentuh oleh sifat-sifat ketuhanan yang sepenuhnya didapat dari praktek-praktek tasawuf melalui berbagai macam olah ruhani yang tidak mudah.
Begitu juga sebaliknya, mereka yang hanya mementingkan aspek tasawuf tanpa mengindahkan aturan-aturan formal syari’ah, hanya akan menjadi manusia yang individualis yang cenderung mengisolasi diri dari realitas kehidupan dan kurang memberikan manfaat bagi orang-orang yang hidup di sekelilingnya.
Wallahu A’lamu bishshawab.

KULIAH TASAUF

Tasawwuf merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam, seperti Aqidah dan Syariah, sebagai pengembangan lebih mendalam dari al-Akhlaq al Islamiyah. Bila kita perbandingkan dengan suatu bangunan, maka Aqidah merupakan pondasinya, Syariah yang berkembang menjadi Fiqh sebagai bangunan sipil sedangkan Akhlaq adalah sentuhan arsitekturnya. Sentuhan arsitektur yang sangat tinggi dan indah disebut Tasawwuf. Dengan demikian Tasawwuf merupakan penghalusan ajaran agama dan pembersih jiwa umat manusia dari kotoran-kotoran yang menodainya.
Tasawwuf adalah suatu usaha untuk pensucian jiwa (Tazkiyah al-Nafs) seseorang dari penyakit-penyakit hati yang mengotorinya, seperti sikap angkuh, sombong, takabur, hasad, riya, ujub, egoisme, dendam, kebencian dan penyakit hati lainnya. Dengan jalan melakukan pembersihan jiwa tersebut, maka seorang sufi dapat mendekatkan dirinya (bertaqarrub) pada Allah SWT, dengan melaksanakan ibadah yang sungguh-sungguh dan pensucian jiwa, sebagaimana disebut di atas.

I. Asal-Usul Tasawwuf

Dalam sejarah perkembangan ilmu Tasawwuf, dijumpai berbagai macam teori tentang nama tersebut, antara lain: (1) dari kata Shaf atau barisan yang paling depan dalam shalat. Maksudnya, para sufi itu menduduki barisan yang paling depan, sehingga memperoleh keutamaan. (2) berasal dari kata ahl-al-Suffah, yaitu beberapa orang dari sahabat Nabi, diantaranya Abi Hurairah, yang mengkhususkan hidupnya untuk mendalami ajaran Islam bersama Nabi SAW. Mereka hidup amat sederhana, tinggal di bilik-bilik sempit disamping masjid Nabawi di Madinah.
Teori ke (3) menyebutkan ia berasal dari kata Shufi dari kalimat shafa, yang artinya suci. Maksudnya, seorang sufi adalah orang yang telah mensucikan dirinya dari penyakit-penyakit rohani, melalui latihan yang lama dan berat. Selanjutnya disebutkan (4) berasal dari bahasa Yunani Shopos yang berarti hikmah. Disebut demikian, karena orang-orang sufi selalu berkaitan dengan hikmah. (5) berasal dari kata Shuf atau bulu domba. Yaitu kain wol kasar yang dipintal dari bulu domba. Disebut demikian, karena orang-orang sufi sering mengenakan pakaian seperti itu sebagai lambang kesederhanaan. Sekaligus sebagai protes terhadap orang-orang yang hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya. Dari segi ejaan dalam bahasa Arab, teori yang terakhir lebih tepat dijadikan sebagai asal-usul kata Tasawwuf.

II. Sumber Ilmu Tasawwuf.

Ajaran Tasawwuf berasal dari Al-Qur’an dan al-Sunnah, yang mengarahkan umat manusia agar rajin beribadah dengan ikhlas, hidup sederhana (zuhud) dan bertaqarrub pada Allah SWT. Mengenai hal itu banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah, antara lain: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia bermohon pada-Ku...(Q.S. al-Baqarah, 2 : 186). Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT amat dekat terhadap manusia, yang berusaha mendekatkan diri pada-Nya.
Dalam ayat yang lain disebutkan: “dan milik Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Baqarah, 2 : 115). Ayat ini menjelaskan bahwa kemana saja manusia menghadapkan wajahnya, ia akan menjumpai tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Dalam ayat berikut ini ditegaskan bahwa Allah SWT amat dekat terhadap manusia, lebih dekat dari urat lehernya sendiri: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat padanya daripada urat lehernya”. (Q.S. Qaaf, 50 : 16). Itulah sebagaian ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi rujukan dari pengembangan ilmu Tasawwuf.
Sumber dari al-Sunnah antara lain disebutkan : Bersabda Nabi SAW, “Allah SWT berfirman: “Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku akan menyatakan perang dengannya. Sesuatu yang paling Aku sukai dari apa yang dikerjakan hamba-Ku untuk mendekatkan diri pada-Ku, yaitu bila ia mengerjakan apa yang telah Ku wajibkan padanya. Ia akan selalu mendekatkan diri pada-Ku dengan mengerjakan hal-hal yang disunahkan, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya. Aku menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya. Aku merupakan tangan yang ia menggunakannya. Aku merupakan kaki yang ia berjalan dengannya. Sekiranya ia bermohon kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya, dan sekiranya ia memohon perlindungan pada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (H.R. Muslim, dari Abi Hurairah).

KULIAH TASAUF

Tasawwuf merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam, seperti Aqidah dan Syariah, sebagai pengembangan lebih mendalam dari al-Akhlaq al Islamiyah. Bila kita perbandingkan dengan suatu bangunan, maka Aqidah merupakan pondasinya, Syariah yang berkembang menjadi Fiqh sebagai bangunan sipil sedangkan Akhlaq adalah sentuhan arsitekturnya. Sentuhan arsitektur yang sangat tinggi dan indah disebut Tasawwuf. Dengan demikian Tasawwuf merupakan penghalusan ajaran agama dan pembersih jiwa umat manusia dari kotoran-kotoran yang menodainya.
Tasawwuf adalah suatu usaha untuk pensucian jiwa (Tazkiyah al-Nafs) seseorang dari penyakit-penyakit hati yang mengotorinya, seperti sikap angkuh, sombong, takabur, hasad, riya, ujub, egoisme, dendam, kebencian dan penyakit hati lainnya. Dengan jalan melakukan pembersihan jiwa tersebut, maka seorang sufi dapat mendekatkan dirinya (bertaqarrub) pada Allah SWT, dengan melaksanakan ibadah yang sungguh-sungguh dan pensucian jiwa, sebagaimana disebut di atas.

I. Asal-Usul Tasawwuf

Dalam sejarah perkembangan ilmu Tasawwuf, dijumpai berbagai macam teori tentang nama tersebut, antara lain: (1) dari kata Shaf atau barisan yang paling depan dalam shalat. Maksudnya, para sufi itu menduduki barisan yang paling depan, sehingga memperoleh keutamaan. (2) berasal dari kata ahl-al-Suffah, yaitu beberapa orang dari sahabat Nabi, diantaranya Abi Hurairah, yang mengkhususkan hidupnya untuk mendalami ajaran Islam bersama Nabi SAW. Mereka hidup amat sederhana, tinggal di bilik-bilik sempit disamping masjid Nabawi di Madinah.
Teori ke (3) menyebutkan ia berasal dari kata Shufi dari kalimat shafa, yang artinya suci. Maksudnya, seorang sufi adalah orang yang telah mensucikan dirinya dari penyakit-penyakit rohani, melalui latihan yang lama dan berat. Selanjutnya disebutkan (4) berasal dari bahasa Yunani Shopos yang berarti hikmah. Disebut demikian, karena orang-orang sufi selalu berkaitan dengan hikmah. (5) berasal dari kata Shuf atau bulu domba. Yaitu kain wol kasar yang dipintal dari bulu domba. Disebut demikian, karena orang-orang sufi sering mengenakan pakaian seperti itu sebagai lambang kesederhanaan. Sekaligus sebagai protes terhadap orang-orang yang hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya. Dari segi ejaan dalam bahasa Arab, teori yang terakhir lebih tepat dijadikan sebagai asal-usul kata Tasawwuf.

II. Sumber Ilmu Tasawwuf.

Ajaran Tasawwuf berasal dari Al-Qur’an dan al-Sunnah, yang mengarahkan umat manusia agar rajin beribadah dengan ikhlas, hidup sederhana (zuhud) dan bertaqarrub pada Allah SWT. Mengenai hal itu banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah, antara lain: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia bermohon pada-Ku...(Q.S. al-Baqarah, 2 : 186). Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT amat dekat terhadap manusia, yang berusaha mendekatkan diri pada-Nya.
Dalam ayat yang lain disebutkan: “dan milik Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Baqarah, 2 : 115). Ayat ini menjelaskan bahwa kemana saja manusia menghadapkan wajahnya, ia akan menjumpai tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Dalam ayat berikut ini ditegaskan bahwa Allah SWT amat dekat terhadap manusia, lebih dekat dari urat lehernya sendiri: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat padanya daripada urat lehernya”. (Q.S. Qaaf, 50 : 16). Itulah sebagaian ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi rujukan dari pengembangan ilmu Tasawwuf.
Sumber dari al-Sunnah antara lain disebutkan : Bersabda Nabi SAW, “Allah SWT berfirman: “Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku akan menyatakan perang dengannya. Sesuatu yang paling Aku sukai dari apa yang dikerjakan hamba-Ku untuk mendekatkan diri pada-Ku, yaitu bila ia mengerjakan apa yang telah Ku wajibkan padanya. Ia akan selalu mendekatkan diri pada-Ku dengan mengerjakan hal-hal yang disunahkan, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya. Aku menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya. Aku merupakan tangan yang ia menggunakannya. Aku merupakan kaki yang ia berjalan dengannya. Sekiranya ia bermohon kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya, dan sekiranya ia memohon perlindungan pada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.” (H.R. Muslim, dari Abi Hurairah).

UZLAH DALAM KEHIDUPAN MODERN

Dalam khazanah kehidupan kaum sufi dikenal ada istilah Uzlah, yang artinya memisahkan diri dari keramaian masyarakat. Uzlah yang dimaksud dalam kehidupan kaum sufi adalah meninggalkan kehidupan bermasyarakat, mencari tempat yang terpisah jauh dan terpencil dari kehidupan manusia secara umum. Tujuan dari pemisahan diri tersebut, tidak lain untuk menyelamatkan aqidah dan keyakinan serta menyelamatkan kegiatan ibadah dan muamalah yang terpuji.
Dilakukannya uzlah, disebabkan seorang sufi tidak bisa lagi melaksanakan kegiatan-kegiatan agama di tengah-tengah masyarakat. Manusia secara umum telah terjelembab dalam pola kehidupan jahiliyah, kedzaliman dan kekacauan merajalela, nilai-nilai kebenaran dan keadilan tidak mungkin lagi dapat ditegakkan. Daripada ikut terjerumus dalam pada kehidupan seperti itu, seorang sufi melakukan uzlah dalam rangka menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa dan kedzaliman. Dengan memisahkan diri dari masyarakat yang telah rusak dan dipenuhi penganiayaan, ia dapat melaksanakan ibadah, bertaqarrub kepada Allah SWT dengan tenang dan terhindar dari berbagai gangguan yang mengusiknya.
Kajian ilmu-ilmu Islam secara umum sering membahas kegiatan uzlah seperti yang disebutkan di atas dan pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda. Kelompok pertama menyetujui cara itu, karena dapat menyelamatkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Pendapat kedua menyatakan tidak bisa diterima, karena terkesan bahwa pelaku uzlah enggan berjuang. Ia digambarkan bagaikan seorang pengecut yang lari dari tantangan-tantangan yang dijumpai di tengah masyarakat. Padahal, setiap orang muslim harus terus berjuang sampai dapat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Setiap orang muslim tidak boleh lari dari kenyataan yang dijumpai ditengah-tengah lingkungannya. Bila situasi membahayakan dirinya ia boleh bersikap taqiyah agar bisa selamat dari kejahatan lingkungannya. Taqiyah adalah sikap menyetujui sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran dan bertentangan dengan hati sanubarinya. Sikap itu dilakukan bersifat sementara, sebelum ada kesempatan untuk memperbaiki masyarakat. Bila situasi memungkinkan dan tidak membahayakan dirinya ia segera menolak keburukan itu dan kembali menegakkan kebenaran.
Dua pandangan di atas, masing-masing memiliki argumen yang dianggap kuat. Keduanya terdapat kebaikan yang tidak bisa ditutup-tutupi dan kelemahan yang tidak bisa dihindari. Kebaikan kelompok pertama, bahwa pada saat itu juga ia bisa menyelamatkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Kebaikan pendapat kedua, memberikan kesempatan pada orang tersebut untuk terus berjuang ditengah-tengah masyarakat, ia berusaha keras untuk menyelamatkan sesama umat manusia.
Kelemahan dari kelompok pertama, terkesan tidak memiliki keuletan dan kesungguhan dalam berjuang menegakkan kebenaran ditengah-tengah masyarakat. Ia hanya menyelamatkan diri sendiri saja, sedang masyarakatnya dibiarkan terjelembab dalam kehinaan dan kenistaan. Kelemahan dari pendapat kedua, ia menanggung resiko yang berat dengan sikap taqiyahnya, mendingan jika ia bisa berhasil berjuang dikalangan masyarakat, bila tidak, maka selamanya orang tersebut akan menyembunyikan kebenaran. Hal ini sangat berbahaya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Sebenarnya, setiap insan muslim harus melakukan perjuangan yang maksimal dengan tidak mengenal putus asa untuk membimbing masyarakat pada kebenaran dan kebaikan. Namun bila tidak mampu, sehingga akan menenggelamkan dirinya dalam dosa dan kesalahan, maka lebih baik meninggalkan masyarakat itu. Pada dasarnya bisa tidak mampu lagi melaksanakan ajaran agama secara baik dan benar sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan al-Sunnah lebih baik menghindari lingkungan seperti itu, bukankah bumi Allah amat luas dan lapang?. Di tempat yang baru masih menyimpan harapan yang menyenangkan bagi perkembangan da’wah Islamiyah.Pada masyarakat modern, Uzlah masih memiliki relevansi yang kuat, mengingat pengaruh globalisasi yang sangat keras, baik pengaruhnya yang konstruktif maupun pengaruh yang desktruktif. Uzlah pada abad modern tidak meninggalkan kehidupan masyarakat, kemudian memisahkan diri di gunung atau hutan, tetapi dengan menghindari budaya dan pengaruh yang merusak, baik yang datangnya dari lingkungan kita sendiri maupun budaya yang datangnya dari luar. Sebagai manusia yang memiliki kepribadian dan jatidiri yang kuat, manusia muslim harus mampu memilah dan memilih, mana yang baik atau buruk, dan mana yang terpuji atau tercela. Lindungi diri kita agar tidak menjadi budak dari kehidupan dunia modern yang mengarah pada perbuatan dosa dan maksiat. Arahkan kehidupan modern yang kita miliki menuju peradaban yang tinggi dan kehidupan masyarakat yang sejahtera, sesuai dengan tuntunan-Nya.

UZLAH DALAM KEHIDUPAN MODERN

Dalam khazanah kehidupan kaum sufi dikenal ada istilah Uzlah, yang artinya memisahkan diri dari keramaian masyarakat. Uzlah yang dimaksud dalam kehidupan kaum sufi adalah meninggalkan kehidupan bermasyarakat, mencari tempat yang terpisah jauh dan terpencil dari kehidupan manusia secara umum. Tujuan dari pemisahan diri tersebut, tidak lain untuk menyelamatkan aqidah dan keyakinan serta menyelamatkan kegiatan ibadah dan muamalah yang terpuji.
Dilakukannya uzlah, disebabkan seorang sufi tidak bisa lagi melaksanakan kegiatan-kegiatan agama di tengah-tengah masyarakat. Manusia secara umum telah terjelembab dalam pola kehidupan jahiliyah, kedzaliman dan kekacauan merajalela, nilai-nilai kebenaran dan keadilan tidak mungkin lagi dapat ditegakkan. Daripada ikut terjerumus dalam pada kehidupan seperti itu, seorang sufi melakukan uzlah dalam rangka menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa dan kedzaliman. Dengan memisahkan diri dari masyarakat yang telah rusak dan dipenuhi penganiayaan, ia dapat melaksanakan ibadah, bertaqarrub kepada Allah SWT dengan tenang dan terhindar dari berbagai gangguan yang mengusiknya.
Kajian ilmu-ilmu Islam secara umum sering membahas kegiatan uzlah seperti yang disebutkan di atas dan pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda. Kelompok pertama menyetujui cara itu, karena dapat menyelamatkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Pendapat kedua menyatakan tidak bisa diterima, karena terkesan bahwa pelaku uzlah enggan berjuang. Ia digambarkan bagaikan seorang pengecut yang lari dari tantangan-tantangan yang dijumpai di tengah masyarakat. Padahal, setiap orang muslim harus terus berjuang sampai dapat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Setiap orang muslim tidak boleh lari dari kenyataan yang dijumpai ditengah-tengah lingkungannya. Bila situasi membahayakan dirinya ia boleh bersikap taqiyah agar bisa selamat dari kejahatan lingkungannya. Taqiyah adalah sikap menyetujui sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran dan bertentangan dengan hati sanubarinya. Sikap itu dilakukan bersifat sementara, sebelum ada kesempatan untuk memperbaiki masyarakat. Bila situasi memungkinkan dan tidak membahayakan dirinya ia segera menolak keburukan itu dan kembali menegakkan kebenaran.
Dua pandangan di atas, masing-masing memiliki argumen yang dianggap kuat. Keduanya terdapat kebaikan yang tidak bisa ditutup-tutupi dan kelemahan yang tidak bisa dihindari. Kebaikan kelompok pertama, bahwa pada saat itu juga ia bisa menyelamatkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Kebaikan pendapat kedua, memberikan kesempatan pada orang tersebut untuk terus berjuang ditengah-tengah masyarakat, ia berusaha keras untuk menyelamatkan sesama umat manusia.
Kelemahan dari kelompok pertama, terkesan tidak memiliki keuletan dan kesungguhan dalam berjuang menegakkan kebenaran ditengah-tengah masyarakat. Ia hanya menyelamatkan diri sendiri saja, sedang masyarakatnya dibiarkan terjelembab dalam kehinaan dan kenistaan. Kelemahan dari pendapat kedua, ia menanggung resiko yang berat dengan sikap taqiyahnya, mendingan jika ia bisa berhasil berjuang dikalangan masyarakat, bila tidak, maka selamanya orang tersebut akan menyembunyikan kebenaran. Hal ini sangat berbahaya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Sebenarnya, setiap insan muslim harus melakukan perjuangan yang maksimal dengan tidak mengenal putus asa untuk membimbing masyarakat pada kebenaran dan kebaikan. Namun bila tidak mampu, sehingga akan menenggelamkan dirinya dalam dosa dan kesalahan, maka lebih baik meninggalkan masyarakat itu. Pada dasarnya bisa tidak mampu lagi melaksanakan ajaran agama secara baik dan benar sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan al-Sunnah lebih baik menghindari lingkungan seperti itu, bukankah bumi Allah amat luas dan lapang?. Di tempat yang baru masih menyimpan harapan yang menyenangkan bagi perkembangan da’wah Islamiyah.Pada masyarakat modern, Uzlah masih memiliki relevansi yang kuat, mengingat pengaruh globalisasi yang sangat keras, baik pengaruhnya yang konstruktif maupun pengaruh yang desktruktif. Uzlah pada abad modern tidak meninggalkan kehidupan masyarakat, kemudian memisahkan diri di gunung atau hutan, tetapi dengan menghindari budaya dan pengaruh yang merusak, baik yang datangnya dari lingkungan kita sendiri maupun budaya yang datangnya dari luar. Sebagai manusia yang memiliki kepribadian dan jatidiri yang kuat, manusia muslim harus mampu memilah dan memilih, mana yang baik atau buruk, dan mana yang terpuji atau tercela. Lindungi diri kita agar tidak menjadi budak dari kehidupan dunia modern yang mengarah pada perbuatan dosa dan maksiat. Arahkan kehidupan modern yang kita miliki menuju peradaban yang tinggi dan kehidupan masyarakat yang sejahtera, sesuai dengan tuntunan-Nya.

Kamis, 01 Januari 2009

MUSYRIK DAN TINGKATANNYA

Bukan saja tauhid yang terdapat tingkatannya, kemusyrikan juga ada tingkatannya. Kalau kita membandingkan keduanya, kita dapat lebih mengetahui tauhid maupun kemusyrikan. Karena mem­bandingkan dua hal yang berseberangan tersebut, maka kita dapat menjelaskannya. Sejarah memperlihatkan bahwa eksistensi beragam kemusyrikan selalu menandingi tauhid yang diajarkan oleh para nabi.

Percaya Pluralitas Zat Tuhan
Bangsa-bangsa tertentu memiliki kepercayaan kepada dua (dualisme), tiga (trinitas) atau lebih dari sumber kreatif dan abadi yang satu sama lain saling mandiri. Mereka percaya bahwa dunia ini memiliki banyak kutub dan banyak pusat. Dari mana sumber gagasan-gagasan seperti itu? Apakah masing-masing gagasan ini mencerminkan kondisi sosial masyarakat bersangkutan. Misal, ketika orang mempercayai dua sumber kreatif dan abadi serta dua orbit orisinal dunia, masyarakat mereka terbagi menjadi dua bagian yang berlainan, dan ketika orang mempercayai tiga sumber dan tiga Tuhan, sistem sosial mereka trilateral. Dengan kata lain, dalam setiap kasus, sistem sosial tersebut tecermin pada pikiran masyarakat dalam bentuk doktrin. Apakah juga merupakan fakta bahwa para nabi mengajarkan tauhid hanya ketika pusat sistem sosial cenderung satu?

Pandangan ini berasal dari sebuah teori filsafat yang sudah kita bahas sebelumnya. Menurut teori ini, aspek-aspek spiritual dan intelektual pada diri manusia, dan kecenderungan moral serta konvensional masyarakat seperti ilmu pengetahuan, hukum, filsafat, agama dan seni, kedudukan atau arti pentingnya berada di bawah sistem sosial manusia, khususnya berada di bawah sistem ekonominya, dan posisinya tidak mandiri. Teori ini sudah kami buktikan kesalahannya. Kami mempercayai nilai intrinsik pemikiran, ideologi dan sisi manusiawi manusia, karena itu kami anggap tak berdasar pandangan-pandangan sosiologis seperti itu mengenai tauhid dan kemusyrikan.

Namun demikian, ada masalah lain yang tidak boleh dikacaukan dengan teori ini. Terkadang ajaran agama disalahgunakan dalam sistem sosial. Misal, sistem berhala kaum Quraisy penyembah berhala merupakan skema untuk melindungi kepentingan kaum praktisi riba Arab. Orang-orang seperti Abu Sofyan, Abu Jahal dan Walid bin Mughirah sedikit pun tidak mempercayai berhala. Mereka membela berhala hanya untuk melindungi sistem sosial yang ada. Ketika sistem tauhid Islam yang antiriba tampil, mereka semakin hebat dalam membela berhala. Karena takut diri mereka bakal hancur, maka kaum penyembah berhala praktisi riba ini pun mengemukakan dalih bahwa kepercayaan-kepercayaan masyarakat itu suci. Al-Qur'an banyak menyinggung hal ini, khususnya dalam kisah tentang Fir'aun dan Nabi Musa. Namun demikian, haruslah dipahami bahwa masalah ini beda sekali dengan pandangan yang menyebutkan bahwa sistem ekonomi merupakan infrastruktur sistem doktrin dan bahwa setiap sistem intelektual merupakan reaksi sistem ekonomi dan sosial.

Yang ditolak keras oleh mazhab para nabi adalah pandangan yang menyebutkan bahwa setiap ideologi niscaya merupakan bentuk kristalisasi keinginan masyarakat, dan keinginan masyarakat ini muncul akibat kondisi ekonomi. Menurut teori materialistis, mazhab tauhid para nabi itu sendiri merupakan bentuk kristalisasi keinginan sosial yang muncul akibat kebutuhan ekonomi pada zaman para nabi tersebut. Perkembangan alat produksi melahirkan banyak keinginan sosial yang dijelaskan melalui pandangan tauhid. Para nabi sesungguhnya menjelaskan secara terperinci kebutuhan sosial dan ekonomi ini. Ada kaidah yang berlaku umum, yaitu bahwa setiap gagasan dan setiap kepercayaan ada infrastruktur ekonominya. Kaidah ini berlaku pula pada pandangan atau gagasan tauhid.

Al-Qur'an percaya bahwa fitrah manusia merupakan dimensi pokok dari eksistensinya. Al-Qur'an juga berpandangan bahwa fltrah manusia melahirkan sejumlah keinginan yang hanya dapat dipenuhi dengan tauhid. Karena itu Al-Qur'an memandang dakwah tauhid para nabi memenuhi kebutuhan manusia. Al-Qur'an tidak mempercayai infrastruktur lain tauhid, juga tidak memandang kondisi kelas sebagai faktor yang memaksa lahimya gagasan atau kepercayaan. Seandamya kondisi kelas merupakan infrastruktur kepercayaan manusia, maka setiap orang tentu cenderung ke arah yang dikehendaki posisi kelasnya. Dalam kasus ini tak akan ada pilihan bagi siapa pun dalam masalah kepercayaan. Orang-orang seperti Fir'aun tak dapat disalahkan, para penentang mereka juga tak dapat dipuji, karena orang baru dapat disalahkan atau dipuji kalau dia memiliki pilihan untuk menjadi lain. Kalau tidak, dia tak dapat disalahkan, juga tak dapat dipuji. Seorang kulit hitam atau kulit putih tak dapat disalahkan atau dipuji karena warna kulitnya. Namun kita tahu bahwa manusia tidak harus berpikir seperti pikiran kelasnya. Dapat saja dia menentang kepentingan kelasnya, seperti yang dUakukan Nabi Musa, sekalipun Nabi Musa dibesarkan dalam lingkungan mewah Fir'aun. Hal ini membuktikan bahwa soal infrastruktur dan suprastruktur, di samping meniadakan sisi manusiawi manusia, tak lebih daripada sebuah mitos.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kondisi material dan intelektual tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Yang ditolak adalah kalau kondisi material dan kondisi intelektual masing-masing dianggap sebagai infrastruktur dan suprastruktur. Al-Qur'an mengatakan:

"Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika melihat dirinya serba cukup." (QS. al-'Alaq: 6)

Al-Qur'an mengakui bahwa kaum kaya dan kaum berkuasa berperan penting dalam menentang para nabi, sedangkan kaum tertindas dan kaum kurang mampu berperan mendukung para nabi. Namun karena fitrah mereka, mereka pun semuanya dapat menerima kebenaran.

Dari sudut pandang spiritual, perbedaan satu-satunya adalah bahwa satu kelompok, kendadpun memiliki fitrah, harus terlebih dahulu mengatasi rintangan besar sebelum dapat diyakinkan untuk menerima kebenaran, karena kelompok ini harus melepaskan keuntungan materialnya yang ada dan keistimewaannya yang dimilikinya secara ddak adil, sementara kelompok lain tak menghadapi rintangan seperti itu. Dengan bahasa Salman al-Farisi (sahabat istimewa Nabi Muhammad saw), mereka yang bebannya ringan, terselamatkan. Bukan saja begitu, kelompok kedua ini memiliki dorongan yang positif. Setelah menerima kebenaran, kondisi hidup kelompok ini mengalami perbaikan, dan kehidupannya pun semakin enak. Itulah sebabnya mayoritas pengikut para nabi adalah kaum kurang mampu. Namun demikian, para nabi selalu mampu mendapat pengikut dari kalangan kaum mampu, dan mampu meyakinkan mereka untuk menentang kelas mereka sendiri dan kepentmgan kelas mereka. Menurut Al-Qur'an, orang-orang seperti Fir'aun dan Abu Sofyan membela sistem musyrik pada zaman mereka, dan membangkitkan semangat religius kaum mereka untuk menentang Nabi Musa dan Nabi Terakhir (Muhammad saw—pen.) bukan semata-mata lantaran mereka—karena posisi kelas mereka—tidak dapat berpikir untuk berbuat lain, atau bukan karena tuntutan kelas mereka mengkristal dalam bentuk ke-percayaan musyrik. Al-Qur'an mengatakan bahwa mereka durhaka. Berkat fitrah mereka, mereka mempercayai Allah dan menyadari kebenaran, namun tetap saja mereka menolak dan menentang kebenaran. Al-Qur'an menyebutkan:

"Dan mereka mengingkari ayat-ayat Kami, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya." (QS. an-Naml: 14)

Al-Qur'an menggambarkan kekafiran mereka sebagai pengingkaran terhadap apa yang diyakini hati mereka. Dengan kata lain, pengingkaran mereka merupakan semacam revolusi menentang hati nurani mereka sendiri. Dalam hubungan ini ada kesalahpahaman yang serius. Sebagian orang berpendapat bahwa Al-Qur'an mendukung teori materialisme sejarah Marxis. Masalah ini akan kami bahas secara terperinci pada saat mengkaji masyarakat dan sejarah di bagian lain buku ini. Teori ini tidak sesuai dengan realitas aktual sejarah, juga tidak dapat dipertahankan dari sudut pandang ilmiah.

Namun demikian, mempercayai beberapa sumber berarti mempercayai pluralitas Zat Tuhan, dan bertentangan sekali dengan mempercayai keesaan Zat Tuhan. Dalam kaitan ini Al-Qur'an mengemukakan argumen:

"Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa." (QS. al-Anbiyâ': 22)

Orang yang meyakini pluralitas Zat Tuhan berarti dia berada di luar batas Islam, karena Islam menolak keras keyakinan seperti ini dalam setiap bentuknya.

Pluralitas Pencipta
Sebagian orang meyakini bahwa Allah tak bersekutu. Mereka meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya sumber alam semesta ini. Namun, sejauh menyangkut Tuhan sebagai pencipta, mereka menyekutukan Tuhan dengan beberapa makhluk. Misal, sebagian dari mereka berpendapat bahwa keburukan atau kejahatan di-ciptakan oleh sebagian makhluk, bukan oleh Allah. Keyakinan seperti ini sama juga dengan keyakinan bahwa pencipta itu banyak, dan keyakinan seperti ini bertentangan sekali dengan ajaran keesaan perbuatan Tuhan. Namun demikian, keyakinan akan pluralitas pencipta ada beberapa tingkatannya. Sebagiannya tidak sama dengan kemusyrikan yang terang-terangan, dan karena itu penganut keyakinan ini belum berada di luar batas Islam.

Pluralitas Sifat-sifat Allah
Karena pelik, maka bukan orang biasa yang mengangkat persoalan ini. Hanya sebagian pemikir yang kurang mendalam wawasannya saja yang tertarik dengan persoalan ini. Di antara kaum teolog skolastis (penganut skolastisisme; skolastisisme adalah teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada falsafah Aristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen—pen.), kaum Asya'irah mempercayai pluralitas Sifat-sifat Allah. Karena keyakinan seperti ini tidak sama dengan kemusyrikan terang-terangan, maka penganutnya belum berada di luar batas Islam.

Pluralitas Ibadah (Penyembahan)
Banyak orang yang menyembah kayu, batu atau logam, atau mereka menyembah hewan, bintang, pohon atau sungai. Dahulu kemusyrikan seperti ini lazim. Sekarang pun kemusyrikan seperti ini masih ada di beberapa belahan dunia. Pluralitas penyembahan merupakan lawan dari tauhid ibadah. Semua tingkat kemusyrikan yang disebutkan sebelumnya merupakan beragam jenis ke­musyrikan teoretis. Semuanya dapat dilukiskan sebagai persepsi atau pengetahuan yang salah. Pluralitas ibadah merupakan ke­musyrikan praktis, semacam "menjadi" yang salah.

Namun demikian, kemusyrikan praktis juga begitu banyak tingkatannya. Tingkatannya yang paling tinggi adalah tingkatan yang membuat orang berada di luar batas Islam. Tingkatan ini disebut kemusyrikan yang terang-terangan. Namun ada banyak jenis kemusyrikan yang tersembunyi. Karena memiliki program tauhid praktis, maka Islam memerangi semua jenis kemusyrikan itu. Ada jenis-jenis kemusyrikan yang begitu tak kentara dan tersembunyi, sehingga nyaris tidak kelihatan. Nabi saw bersabda: "Kemusyrikan lebih tak terlihat ketimbang semut yang berjalan di batu yang licin di kegelapan malam. Kemusyrikan yang paling kecil kadarnya adalah lebih cenderung kepada tindak kezaliman ketimbang tindak keadilan." Orang baru dapat disebut religius kalau dia mencintai dan membenci karena Allah semata. Allah SWT berfirman:

"Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mmgasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Âli 'Imrân: 31)

Islam memandang perbuatan menuruti hawa nafsu, cinta jabatan, cinta kehormatan dan uang, maupun memuja pahlawan atau tokoh, sebagai bentuk kemusyrikan. Dalam kisah tentang konflik antara Nabi Musa dan Fir'aun, Al-Qur'an menggambarkan kekuasaan tiran Fir'aun atas Bani Isra'il. sebagai pemaksaan dedikasi dan perbudakan. Nabi Musa digambarkan menjawab Fir'aun: "Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Isra'il." (QS. asy-Syu'arâ’: 22)

Jelaslah bahwa Bani Isra'il tidak menyembah Fir'aun dan juga tidak menjadi budaknya. Mereka hanyalah hidup di bawah ke­kuasaan tirani Fir'aun. Di bagian lain Fir'aun digambarkan mengatakan: "Sesungguhnya kami memiliki kekuasaan penuh atas mereka." Di bagian lain lagi Fir'aun digambarkan mengatakan: "Kaum mereka (kaum Nabi Musa as dan Nabi Harun as) adalah budak kami dan menyembah kami." Dalam ayat ini kata "kami" penting artinya. (lihat QS. al-A'raf: 127)

Sekalipun kita berasumsi bahwa Bani Isra'il dipaksa menyembah Fir'aun, tetap saja tak dapat dibayangkan bahwa Bani Isra'il menyembah pembesar-pembesar Fir'aun. Bani Isra'il hanya dipaksa tunduk dan menaati Fir'aun. Dalam sebuah khotbah yang meng­gambarkan keadaan menyedihkan yang dialami Bani Isra'il di bawah kekuasaan tirani Fir'aun. Imam Ali as berkata: "Orang-orang seperti Fir'aun telah memperbudak mereka." Imam Ali as menjelaskan diperbudaknya Bani Isra'il dengan kata-kata seperti ini: "Orang-orang seperti Fir'aun itu menyiksa mereka dan membuat hidup mereka menyedihkan. Bani Isra'il hidup di bawah kondisi yang sangat menindas dan tak dapat menemukan jalan untuk melepaskan diri dari penindasan dan penghinaan, atau untuk membela diri." (Nahj al-Balâghah)

Ayat yang menjanjikan bahwa kaum mukmin akan menjadi khalifah Allah, sangat jelas dalam kaitan ini. Ayat itu mengatakan: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutvkan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) Kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. an-Nûr: 55)

Ayat ini menunjukkan, bahwa bila pemerintahan yang baik dan kekhalifahan Allah tegak, maka kaum mukmin terbebaskan dari menaati setiap tiran. Ayat ini mengatakan bahwa kaum mukmin hanya menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Ini memperlihatkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an, menaati penguasa merupakan tindak menyembah Allah asalkan penguasa tersebut ditaati karena Allah. Kalau tidak, maka perbuatan seperti itu merupakan tindak kemusyrikan. Mengherankan bahwa terpaksa taat, yang secara moral tidak dianggap sebagai tindak menyembah, juga dianggap demikian dari sudut sosial. Nabi saw bersabda: "Ketika jumlah Bani al-'As (leluhur Marwan bin Hakam dan sebagian besar khalifah Umayah) mencapai tiga puluh, mereka akan menjarah milik Allah dan mengubahnya menjadi milik pribadi mereka, akan memperbudak hamba Allah, dan akan mengintervensi agama-Nya."

Di sini Nabi Muhammad saw mengisyaratkan bahwa Bani Umayah akan menjadi penindas atau tiran. Memang Bani Umayah tidak meminta disembah, juga tidak memperbudak rakyat mereka. Bani Umayah hanya menjalankan kekuasaan tirani. Nabi saw, melalui wahyu Allah sehingga dapat melihat apa yang akan terjadi kelak, menyebut posisi ini pembudakan dan semacam kemusyrikan.

Batas antara Tauhid dan Kemusyrikan
Apa garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan (termasuk bentuknya yang teoretis dan praktis?) Mana pandangan yang tauhid dan mana pandangan yang musyrik? Perbuatan seperti apa yang dapat disebut Tauhid praktis, dan yang dapat disebut kemusyrikan praktis? Apakah musyrik kalau mempercayai eksistensi apa pun selain Allah? Apakah Tauhid Zat-Nya menuntut kita untuk tidak mem­percayai eksistensi sesuatu dalam bentuk apa pun di samping Dia, yang bahkan bukan ciptaan-Nya (semacam monoisme ontologis).

Jelaslah bahwa segala ciptaan adalah pekerjaan Allah. Tidak dapat dipandang sebagai tandingan-Nya. Ciptaan Allah merupakan manifestasi kemahakuasaan-Nya. Mempercayai eksistensi suatu ciptaan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Allah, tidak bertentangan dengan tauhid. Akan tetapi justru melengkapi tauhid. Karena itu, garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan bukanlah ada atau tidak adanya sesuatu selain Allah.

Apakah mempercayai sebab-akibat segala ciptaan sama dengan kemusyrikan atau pluralitas pencipta? Apakah mempercayai tauhid perbuatan Allah berarti kita juga menolak sistem sebab-akibat, dan beraiti kita juga menganggap bahwa setiap akibat tentu penyebabnya adalah Allah langsung? Misal, apakah kita percaya bahwa api sama sekali tak punya peran dalam pembakaran, air sama sekali tak punya peran dalam menghilangkan dahaga, hujan sama sekali tak punya peran dalam menumbuhkan tanaman, dan obat sama sekali tak punya peran dalam penyembuhan, dan bahwa Allah langsung yang membakar, langsung yang menghilangkan dahaga, langsung yang menumbuhkan tanaman, dan langsung yang menyembuhkan penyakit Benarkah ada atau tak adanya faktor-foktor lain sama saja? Paling banter dapat dikatakan bahwa Allah biasanya berbuat bila ada faktor-faktor tertentu. Jika seseorang biasa memakai topi di kepalanya bila dia mau menulis surat, maka tidak dapat dikatakan bahwa ada atau tak adanya topi mengakibatkan dia menulis surat. Yang jelas adalah bahwa dia tak suka menulis surat tanpa mengenakan topi di kepalanya. Menurut pandangan ini, seperti itulah karakter dan ada dan tidak adanya segala sesuatu yang disebut sebab dan faktor. Kalau kita mempercayai sebaliknya, berarti kita menganggap bahwa Allah ada sekutu-Nya dalam berbuat. Itulah pandangan kaum Asya'irah dan kaum Jabariah.

Sekali lagi pandangan ini salah. Karena mempercayai eksistensi sesuatu ciptaan tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas Zat Tuhan, tetapi justru melengkapi kepercayaan akan keesaan Allah, maka mempercayai sistem sebab-akibat tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas pencipta. Karena eksistensi segala ciptaan itu bukan dengan sendirinya, maka efektivitas mereka juga bergantung. Karena eksistensi dan efektivitas segala yang ada bergantung pada Allah, maka tak ada soal pluralitas pencipta. Mempercayai sistem sebab-akibat sesungguhnya melengkapi kepercayaan akan kepenciptaan Allah. Tentu saja sama dengan kemusyrikan kalau kita percaya bahwa segala ciptaan ada sendiri, atau percaya bahwa hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan pabrikan dan produk. Mobil pada mulanya membutuhkan pabrikan agar mobil itu ada, namun setelah ada mobil itu berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri. Meskipun pabrikannya mati, mobil itu tetap dapat jalan. Kalau kita beranggapan bahwa hubungan faktor alamiah, seperti air, hujan, energi, panas, bumi, tumbuhan dan manusia dengan Allah seperti itu, seperti terkadang cenderung jadi pandangan kaum Mu'tazilah, maka pandangan seperti itu tentu saja membawa ke kemusyrikan.

Efektivitas segala ciptaan bergantung pada Pencipta mereka, karena asal-usul, eksistensi dan kelangsungan mereka bergantung pada-Nya. Alam semesta adalah ciptaan-Nva dan merupakan rahmat dari-Nya. Alam semesta sepenuhnya bergantung pada-Nya. Karena itu, efektivitas segala ciptaan sesungguhnya merupakan efektivitas Allah, dan kreativitas mereka merupakan kreativitas-Nya dan perpanjangan pekerjaan-Nya. Bahkan dapat dikatakan bahwa memandang musyrik keyakinan akan adanya peran makhluk dalam urusan dunia itu sendiri adalah pikiran musyrik, karena pikiran seperti itu menunjukkan secara tidak sadar mempercayai kemandirian segala yang ada, seperti ditunjukkan oleh anggapan bahwa mempercayai efektivitas segala yang ada berarti sama dengan mempercayai adanya dua pusat. Namun demikian, mempercayai atau mengingkari sebab-akibat segala ciptaan di samping Allah bukanlah garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan.

Apakah mempercayai kekuatan supranatural dari sesuatu yang eksis, apakah itu malaikat atau manusia seperti nabi atau imam, itu musyrik, padahal mempercayai kekuatan dan efektivitas nabi atau imam dan seterusnva dalam batas-batas normal tidak musyrik? Begitu pula, apakah dapat disebut berpikiran musyrik kalau mempercayai kekuatan dan efektivitas seseorang yang sudah mati, mengingat orang yang sudah mati itu nampaknya hanyalah sebuah benda inorganis. Jelaslah, dari sudut pandang hukum alam, benda inorganis tak memiliki kesadaran, tak memiliki daya, tak memiliki kehendak. Karena itu, percaya bahwa orang yang sudah mati bisa melihat, atau menghormati orang yang sudah mati, dan meminta sesuatu dari orang yang sudah mati, semuanya itu merupakan perbuatan musyrik, karena dengan berbuat begitu berarti menganggap bahwa yang punya kekuatan supranatural bukan saja Allah tetapi juga makhluk.

Begitu pula, tentu saja musyrik kalau percaya bahwa tanah di tempat tertentu bisa untuk menyembuhkan penyakit, atau bahwa berdoa di tempat tertentu pasti dikabulkan, karena kepercayaan seperti itu sama saja dengan mempercayai bahwa benda tak ber-nyawa memiliki kekuatan supranatural. Mengingat semua itu alamiah, dapat diidentifikasi, dapat dialami, dan dapat dilihat, maka bukanlah musyrik, seperti anggapan kaum Asya'irah, kalau mem­percayai efektivitas hal-hal itu. Namun tentu saja musyrik kalau percaya bahwa makhluk memiliki kekuatan supranatural.

Eksistensi memiliki dua segi: fisis dan metafisis. Segi metafisis merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan segi fisis merupakan wilayah khusus makhluk, atau merupakan wilayah bersama antara Allah dan makhluk. Sejumlah fungsi yang memiliki segi metafisis, seperti menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki, dan seterusnya, bersama beberapa fungsi normal dan biasa, merupakan wilayah khusus Allah. Sejauh menyangkut Tauhid Teoretis, begitulah posisinya. Adapun Tauhid praktis, maka memberikan perhatian kepada makhluk dengan maksud membina hubungan spiritual dengan makhluk tersebut, agar makhluk tersebut memberikan perhatian kepada kita, atau agar makhluk tersebut memberikan tanggapan kepada kita, maka itu semua merupakan kemusyrikan, dan sama saja dengan menyembah makhluk tersebut. Karena menyembah selain Allah itu tidak dibolehkan oleh akal dan juga oleh syariat Islam, maka orang yang melakukan perbuatan tersebut keluar dari Islam. Kemudian, karakter ritus yang membutuhkan adanya perhatian semacam itu, tak beda dengan karakter ritus yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala. Kalau orang melakukan ritus seperti itu, maka artinya dia menganggap sosok yang jadi objek ritus tersebut memiliki kekuatan metafisis (misalnya Imam atau Nabi saw). Itulah pandangan kaum Wahabi dan kaum semi-Wahabi di zaman ini.

Di zaman ini pandangan seperti ini banyak dianut, dan di kalangan-kalangan tertentu malah dianggap sebagai tanda berpikir jemih. Namun dari sudut pandang tauhid, teori kaum Asya'irah itu termasuk musyrik. Sesungguhnya teori tersebut merupakan seburuk-buruk teori, bila dilihat dari sudut pandang tauhid kepenciptaan dan tauhid perbuatan Tuhan.

Dalam kesempatan menunjukkan kekeliruan teori kaum Asya'irah, sudah kami kemukakan sebelumnya bahwa mereka menafikan sistem sebab-akibat, dengan alasan bahwa kalau orang mempercayai efektivitas dan sebab-akibat makhluk berarti dia mempercayai adanya beberapa sumber lain selain Allah. Sudah kami kemukakan bahwa sesuatu dapat menjadi sumber kalau eksistensi sesuatu tersebut terjadi dengan sendirinya, dan sesuatu tersebut tidak bergantung pada Allah. Kaum Asya'irah rupanya secara tidak sadar mempercayai independensi makhluk. Kepercayaan ini jelasjelas musyrik, karena sama saja dengan menyangkal Tauhid Zat Allah. Namun demikian, mereka tidak menyadari konsekuensi teori mereka. Mereka ingin menegaskan tauhid kepenciptaan, namun secara tak sadar justru ujungnya malah mendukung pluralitas Zat Tuhan.

Kritik yang sama juga tertuju kepada kaum semi-Wahabi. Secara tak sadar mereka pun setuju dengan semacam independensi-diri makhluk, karena mereka beranggapan bahwa mempercayai faktor supranatural sama saja dengan mempercayai kekuatan lain selain kekuatan Allah. Mereka ini mengabaikan fakta bahwa kalau satu makhluk dapat melakukan perbuatan supranatural, dan segenap eksistensi makhluk tersebut bergantung pada Allah, dan yang statusnya sendiri tidak mandiri, maka sebenarnya kualitas untuk melakukan perbuatan tersebut berasal dari Allah yang diberikan kepadanya. Makhluk tersebut hanyalah sarana untuk menyampaikan rahmat Allah. Apakah musyrik kalau orang percaya bahwa Malaikat Jibril merupakan perantara yang digunakan untuk menyampaikan wahyu dan ilmu, Malaikat Mikail merupakan perantara untuk memberikan sarana hidup, Malaikat Israfil merupakan perantara untuk Kebangkitan, dan Malaikat Izrail merupakan perantara untuk mencabut nyawa?

Dari sudut pandang tauhid, teori ini berakibat seburuk-buruk kemusyrikan, karena mempercayainya sama saja dengan semacam membagi kerja antara Pencipta (Allah SWT) dan makhluk. Menurut teori ini, perbuatan supranatural merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan perbuatan alamiah merupakan wilayah khusus makhluk atau wilayah bersama antara Pencipta dan makhluk. Mempercayai wilayah khusus makhluk, berarti mempercayai pluralitas kerja yang merupakan gagasan musyrik. Begitu pula, mempercayaiwilayah bersama juga merupakan kemusyrikan.

Bertentangan dengan konsepsi tauhid, Wahabisme bukan saja merupakan sebuah doktrin yang bertentangan dengan imamiah, namun juga bertentangan dengan tauhid dan kemanusiaan. Doktrin Wahabi ini anti-tauhid, karena doktrin ini mempercayai adanya pembagian kerja. Seperti sudah dijelaskan di atas, Wahabisme merupakan semacam kemusyrikan terselubung. Juga anti-kemanusiaan, dalam pengertian tidak menghargai bakat dan kemampuan manusia, dua hal yang membuat manusia lebih unggul daripada malaikat sekalipun. Dengan jelas Al-Qur'an menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah Allah, dan malaikat diperintahkan untuk sujud di hadapan manusia. Namun Wahabisme masih saja berkeinginan menurunkan maitabat manusia sampai ke tingkat binatang buas.

Lalu, membedakan antara yang hidup dan yang mad, seperti katakanlah bahwa yang mad itu tidak akan hidup lagi meski di akhirat sekalipun, dan bahwa segenap kepribadian manusia itu terletak pada raganya, dan raga ini kemudian berubah menjadi barang inorganis setelah manusia tersebut mati, merupakan gagasan materialistic dan keji. Masalah ini akan kami bahas nand, yaitu ketika membahas Han Kiamat.

Yang juga musyrik adalah, apabila membedakan antara efek sesuatu yang bersifat supranatural dan tak dapat dimengerti (efek pertama) dan yang bersifat dapat dimengerti (efek kedua), dan memandang efek pertama sebagai efek metafisis yang bertentangan dengan efek kedua. Sekarang dapat dimengerti apa maksud Nabi Suci saw ketika bersabda bahwa kemusyrikan begitu diam-diam, dan tak kelihatan ketika menyusup masuk ke dalam iman, bagaikan semut yang berjalan di atas batu pada kegelapan malam.

Faktanya adalah bahwa garis pemisah antara tauhid dan syirik adalah hubungan antara Allah di satu pihak, dan manusia serta alam semesta di pihak lain. Hubungan ini adalah hubungan "dari-Nya" dan "kepada-Nya". Dalam tauhid teoretis, garis pembatas tersebut adalah "dari-Nya". "Kita semua dari Allah". Dari sudut pandang tauhid, sikap kita baru benar kalau kita memandang bahwa hakikat, sifat dan efekdvitas kualitas eksistensi pada sedap kebenaran dan setiap sesuatu yang ada itu dari Allah. Apakah efeknya tunggal, beberapa, atau tak berefek sama sekali, dan apakah punya efek supranatural atau tidak, itu tak penting. Allah bukan Tuhannya dunia metafisis saja. Allah adalah Tuhan alam semesta. Dekatnya Dia dengan dunia fisis, sama dengan dekatnya Dia dengan dunia metafisis. Dia bersama segala sesuatu, dan rezeki untuk segala sesuatu' tersebut adalah dari-Nya. Kalau sesuatu memiliki segi metafisis, itu berarti bahwa sesuatu tersebut memiliki segi ketuhanan. Seperti sudah kami kemukakan sebelumnya, menurut konsepsi Islam, karakter wujud yang dimiliki alam ini adalah "dari-Nya". Dalam banyak ayat Al-Qur'an disebutkan bahwa para nabi memiliki mukjizat, seperti dapat menghidupkan sesuatu yang sudah mati, dan mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir.

Namun demikian, selalu ada tambahannya, yaitu "dengan kehendak-Nya". Frase "dengan kehendak-Nya" ini menunjukkan karakter mukjizat tersebut, dan memperlihatkan bahwa mukjizat ini berasal dari-Nya. Orang tak boleh beranggapan bahwa para nabi itu independen (dalam hal mukjizat—pen.). Yang juga termasuk musyrik adalah kalau mempercayai adanya eksistensi yang bukan "dari Allah". Juga, kalau percaya bahwa efektivitas sesuatu yang ada itu bukan "dari-Nya", maka itu adalah musyrik. Apakah efeknya bersifat supranatural seperti menciptakan bumi dan langit, atau apakah efeknya begitu remeh seperti membalikkan daun, itu tak penting.

Kalau dalam tauhid praktis, maka garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan adalah "kepada-Nya". "Kita semua akan kembali kepada-Nya", seperti dikatakan Al-Qur'an Suci. Kalau kita memberikan perhatian kepada sesuatu yang ada, baik perhatian itu bersifat spiritual atau bukan, dengan maksud untuk sampai kepada Allah, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri, maka perbuatan kita ini sama dengan memberikan perhatian kepada Allah. Segala yang ada supaya dipandang hanya sebagai tanda untuk menuju ke Allah. Hanya Allah sajalah tujuannya.

Para nabi dan para imam digambarkan sebagai "rule utama dan jalan lurus, papan penunjuk jalan bagi manusia, mercusuar di darat, pemandu ke jalan Allah, penyampai risalah-Nya dan penyingkap kehendak-Nya." (Ziyârah Jâmi'ah). Karena itu, masalahnya bukanlah kalau ber-wasîlah (menjadikan sebagai perantara) kepada imam, memohon atau berharap agar imam berbuat mukjizat, maka itu musyrik. Bukan ini masalahnya. Sesungguhnya masalahnya adalah sesuatu yang lain.

Pertama,
kita harus yakin apakah para nabi dan imam itu memang sedemikian dekat dengan Allah, sehingga mereka dianugerahi kekuatan dan kualitas supranatural. Al-Qur'an Suci menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan posisi seperti itu kepada sebagian orang.

Kedua,
apakah kalau orang ber-wasîlah kepada imam dan wali, ziarah ke makam mereka dan memohon kepada mereka, dari sudut pandang tauhid, memiliki pengertian yang benar mengenai apa yang dilakukannya atau tidak. Apakah dalam benaknya ada "kepada-Nya", ketika mereka ke makam? Ataukah dia lalai akan Dia dan menganggap imam atau wali, yang makam mereka dia ziarahl, sebagai tujuan itu sendiri. Tak syak lagi, sebagian besar orang secara naluriah dalam benak mereka ada Allah. Sebagian orang mungkin benar-benar tak memiliki pandangan tauhid. Mereka harus diingatkan tentang pandangan tauhid ini. Namun demikian, tak ada alasan untuk menyebut musyrik terhadap ziarah ke makam.

Ketiga,
bahwa juga musyrik kalau memuliakan dan memuji makhluk sedemikian seakan makhluk tersebut benar-benar sempurna dan eksis sendiri. Hanya Allah sajalah yang benar-benar sempurna. Hanya Dia sajalah yang pantas mendapat segala pujian. Hanya Dia sajalah yang Mahakuasa. Menganggap makhluk memiliki sifat-sifat sempurna seperti itu, baik anggapan tersebut dilakukan dalam bentuk kata maupun perbuatan, maka hal yang demikian itu adalah musyrik. Sudah kami bahas sebelumnya perbuatan-perbuatan yang bisa disebut ibadah dan memuja.

Taat dan Sungguh-sungguh
Kalau seseorang sadar akan Allah, maka kesadarannya tersebut mempengaruhi segenap kepribadian, semangat, jiwa, moral dan perilakunya. Sejauh mana pengaruh tersebut, itu bergantung pada tingkat imannya. Kalau imannya kuat, maka pengaruh tersebut juga kuat. Pengaruh kesadaran akan Allah pada din manusia, bertingkat dan bertahap. Karena tingkat dan tahap tersebut beragam, maka beragam pula kesempumaan dan kedekatan manusia dengan Allah.

Tingkat ini disebut tingkat ketaatan dan kesungguhan. Seperti dikemukakan sebelumnya, kalau kita berpaling kepada Allah dan menyembah Allah, berarti kita memperlihatkan bahwa Dia sajalah yang patut ditaati dan kita tunduk patuh mutlak kepada-Nya. Penyembahan seperti ini, dan ungkapan ketundukan total ini tidak boleh dilakukan kepada makhluk, kecuali kepada Allah. Adapun masalah sejauh mana kesungguhan kita dalam ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah dan ketidaktundukan dan ketidak-patuhan kepada makhluk, itu bergantung pada iman kita. Jelas, ketaatan dan kesungguhan kita semua tidaklah sama.

Sebagian orang membuat kemajuan sedemikian rupa, sehingga jiwa dan raga mereka hanya dikendalikan oleh perintah Allah. Hawa nafsu tak dapat mempengaruhi mereka. Siapa pun tak dapat mutlak mengendalikan mereka. Mereka memenuhi tuntutan hawa nafsu kalau tuntutan tersebut diridai Allah. Tampak jelas, mencari keridaan Allah menjadi jalan satu-satunya untuk mencapai kesempurnaan. Orang-orang seperti ini taat kepada kedua orang tua mereka, guru mereka, dan seterusnya hanya karena Allah dan hanya dalam batas-batas yang dibolehkan Allah. Bahkan ada yang lebih dari itu. Mereka hanya mencintai Allah SWT. Kalau mereka mencintai makhluk-Nya, itu karena makhluk merupakan ayat (tanda kekuasaan)-Nya, dan mengingatkan akan-Nya. Meski tidak banyak, ada yang bahkan lebih dari tahap ini. Mereka tidak melihat apa-apa kecuali Dia, dan memandang segalanya sebagai perwujudan-Nya. Bagi mereka, dalam segala sesuatu ada Dia.

Imam Ali as berkata: "Kalau aku melihat sesuatu, maka sebelum atau bersama sesuatu itu aku melihat Allah." Kalau dalam hidupnya seseorang berupaya memberikan bentuk nyata pada apa yang dikomunikasikannya kepada Allah ketika beribadah, maka orang tersebut mencapai kesempurnaan dan mencapai tahap ketaatan. Bagi orang tersebut, ibadahnya merupakan kontrak nyata, yang pasal-pasal dalam kontrak tersebut harus ditaatinya. Dalam kontrak ini ada dua pasal utama:
  • Pertama, tidak menaati siapa pun dan apa pun, termasuk di dalamnya hawa nafsunya.
  • Kedua, menerima dan tunduk patuh sepenuhnya kepada perintah Allah.
Baginya, ibadah merupakan jalan yang tepat untuk mendidik diri dan untuk perkembangan rohaninya. Ibadah secara sistematis mendidik kita untuk berpandangan terbuka tanpa prasangka, untuk berkorban diri, untuk mencintai Allah, untuk mencintai umat manusia, untuk bergaul dengan orang-orang yang berpikiran lurus, untuk berbuat bajik, dan untuk memberikan jasa kepada umat manusia.

Dari apa yang telah kami paparkan, jelaslah bahwa Tauhid Islam tak mau adanya alasan lain selain untuk mendapatkan keridaan Allah. Realitas evolusioner manusia dan dunia adalah "menuju kepada-Nya." Apa pun yang orientasinya bukan kepada Allah, maka menyimpang dan bertentangan dengan evolusi alam. Dari sudut pandang Islam, apa pun yang dilakukan manusia, entah itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, maka haruslah untuk mendapatkan keridaan Allah. Adalah salah kalau mengatakan bahwa "mencari keridaan Allah" identik dengan "untuk kepentingan manusia," dan bahwa berbuat sesuatu untuk mencari keridaan Allah tanpa untuk kepentingan manusia tak lain adalah mistisisme dan pedagogisme.

Dari sudut pandang Islam, jalan satu-satunya adalah jalan Allah, dan tujuan satu-satunya adalah mencari keridaan-Nya. Dan jalan Allah adalah berinteraksi dengan orang lain. Berbuat demi diri sendiri berarti egoisme, berbuat demi manusia berarti menyembah berhala, dan berbuat demi Allah dan manusia berarti kemusyrikan dan dualisme. Tauhid sejati adalah "Berbuat untuk diri sendiri dan untuk orang lain demi Allah." Menurut Islam, jalan tauhid adalah memulai segalanya dengan Nama Allah, bukan atas nama manusia, juga bukan dengan Nama Allah sekaligus atas nama manusia. Dari Surah al-Ikhlâsh dapat ditarik poin yang menarik: mukhlish, yaitu berbuat semata-mata demi Allah, dan mukhlash, yaitu tulus atau suci diri, ada bedanya.

Alam Semesta yang Satu
Apakah alam semesta yang beruang waktu yang diciptakan Allah itu benar-benar satu? Apakah keesaan Allah, yaitu keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya mengharus-kan ciptaan-Nya juga satu? Kalau alam semesta merupakan satu unit yang solid dan bertalian, bagaimana sebenarnya pertaliannya itu? Apakah organis, dalam pengertian bahwa hubungan berbagai bagian alam semesta dengan keseluruhan alam semesta adalah seperti hubungan berbagai anggota badan dengan tubuh, atau apakah mekanis sehingga berbagai bagian alam semesta adalah seperti berbagai komponen sebuah mesin?

Bagaimana sebenarnya alam semesta yang satu itu, sudah kami bahas dalam buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat". Dalam buku kami yang lain "Keadilan Ilahi", kami kemukakan bahwa alam semesta merupakan sesuatu yang tak dapat dipotong-potong. Kalau satu bagiannya tidak ada, berarti alam semesta itu sendiri tak ada. Dan kalau apa yang disebut keburukan itu sirna, maka sirna pula alam semesta.

Kaum Filosof modern, khususnya Filosof besar Jerman, Hegel. Mendukung pandangan yang mengatakan bahwa hubungan antara alam dan berbagai bagiannya adalah seperti hubungan tubuh dan anggota tubuh. Namun demikian, diterima atau tidak diterimanya argumen-argumen yang dikemukakannya, tergantung pada di­terima atau tidak diterimanya segenap prinsip filsafatnya. Para pendukung materialisme dialektis berpandangan seperti ini juga. Mereka mati-matian mempertahankan pandangan ini di bawah prinsip efek timbal balik dan interdependensi hal-hal kontrakdisi, dan mengklaim bahwa di alam semesta hubungan antara satu bagian dan alamnya itu sendiri bersifat organis, namun ketika mereka mengemukakan argumen, maka yang dapat mereka buktikan hanyalah hubungan mekanis. Sesungguhnya, berdasarkan filsafat materialistis, tidaklah mungkin membuktikan bahwa alam sebagai keseluruhan adalah seperti tubuh, dan hubungan bagian-bagiannya dengan alam itu sendiri adalah seperti hubungan anggota badan dan tubuh. Hanya kaum Filosof Ilahiah yang—sejak dahulu berpandangan bahwa alam adalah makrokosmos sedangkan manusia adalah mikrokosmos—telah menggambarkan hubungan ini dengan benar. Dan kalangan Filosof Muslim, Ikhwan ash-Shafa, adalah yang banyak menekankan hal ini. Bahkan lebih dan kaum filosof, kaum sufi memandang alam semesta sebagai satu unit. Menurut mereka, seluruh kosmos merupakan satu perwujudan tunggal Realitas Ilahiah.

Kaum ahli makrifat menyebut alam semesta "tumpahan suci." Mereka mengatakan bahwa alam semesta itu seperti kerucut, puncak kerucut yang ada kontak dengan Allah tak dapat dilihat, dan dasar kerucut sangat luas sekali.

Pada kesempatan ini karni tidak bermaksud membahas pandangan kaum filosof dan pandangan kaum Muslim ahli makrifat itu, dan membahas lagi persoalan yang sudah kami bahas sebelumnya. Seperti sudah kami katakan, realitas alam semesta adalah "dari-Nya" dan "kepada-Nya". Bahwa alam semesta bukanlah semata-mata realitas yang bergerak dan terus berubah, namun alam semesta itu sendiri merupakan perwujudan dari gerakan dan perubahan terus-menerus, merupakan fakta yang tak terbantahkan. Fakta ini sudah dapat dibuktikan oleh filsafat Islam. Ketika mengkaji gerak, juga sudah dijelaskan bahwa satunya permulaannya, satunya akhir (tujuan)-nya dan satunya jalannya membuat gerakan-gerakannya satu. Karena itu, bila melihat fakta bahwa awal (permulaan) alam semesta itu satu, akhir (tujuan)-nya satu, dan jalan evolusionernya juga satu, maka jelaslah bahwa alam semesta itu merupakan semacam satu unit tunggal.

Kasat Mata dan Tak Kasat Mata
Menurut konsepsi Islam tentang kosmos, alam merupakan agregat (satuan yang terbentuk dari) segala yang kasat mata dan yang tak kasat mata. Menurut konsepsi ini, alam semesta terbagi menjadi alam kasat mata dan alam tak kasat mata. Al-Qur'an Suci sendiri menyebut yang kasat mata (syahadah) dan yang tak kasat mata (gaib) , khususnya yang gaib. Mempercayai yang gaib merupa­kan rukun iman. Al-Qur'an Suci memfirmankan:

  • "Mereka yang mempercayai yang gaib." (QS. al-Baqarah: 3)
  • "Di sisi-Nya kunci-kunci untuk segala yang gaib. Hanya Dia sajalah yang mengetahuinya. "(QS. al-An'am: 59)

Ada dua macam kegaiban (tak kasat mata): Kegaiban relatif dan kegaiban mutlak. Kegaiban relatif adalah sesuatu yang tak dapat ditangkap indera seseorang karena sangat jauh letaknya. Misal, bagi seseorang yang ada di Teheran, Teheran kasat mata sedangkan Isfahan tak kasat mata (gaib) . Namun bagi seseorang yang ada di Isfahan, Isfahan kasat mata sedangkan Teheran gaib.

Dalam beberapa tempat, Al-Qur'an Suci menggunakan kata "gaib" (tak kasat mata) dalam pengertian yang relatif ini juga. Al-Qur'an Suci menerangkan:

"Peristiwa-peristiwa gaib (yang tak diketahui) ini yang telah Kami wahyukan (singkapkan) kepadamu, tidak pernah kamu mengetahui­ dan tidak pula kaummu sebelum ini." (QS. Hud: 49)

Jelaslah, kejadian-kejadian kaum di masa lalu adalah "gaib" bagi masyarakat dewasa ini, sekalipun kejadian-kejadian tersebut "terlihat" oleh orang-orang yang menyaksikannya. Di tempat lain, kata "gaib" digunakan Al-Qur'an Suci untuk realitas-realitas yang mutlak gaib. Ada bedanya antara realitas-realitas yang nampak jelas oleh indera namun tak nampak karena letaknya yang sangat jauh, dan realitas-realitas yang tak nampak dan gaib karena realitas-realitas tersebut non-material dan tak terbatas. Ketika Al-Qur'an Suci mengatakan bahwa orang mukmin mempercayai yang gaib, maka yang dimaksud bukanlah kegaiban relatif, karena siapa pun, apakah dia beriman atau kafir, mempercayai kegaiban relatif. Lagi, ketika Al-Qur'an Suci mengatakan bahwa di sisi Allah saja kunci-kunci semua yang gaib, maka maksudnya adalah kegaiban mutlak, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan kegaiban relatif. Begitu pula dengan ayat-ayat yang menyebutkan hal yang kasat mata dan hal yang gaib. Misal, Al-Qur'an Suci menyebutkan:

"Dialah yang mengetahui yang gaib dan yang kasat mata. Dan Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr: 22)

Ayat itu juga merujuk kepada kegaiban mutlak, bukan kepada kegaiban relatif. Bagaimana saling hubungan antara dua alam ini, yaitu alam kasat mata dan alam gaib? Apakah alam kasat mata ada garis batasnya, yang berada di luar garis batas tersebut adalah alam gaib? Misal, apakah dari bumi ke langit ada alam kasat mata, dan di luar itu ada alam gaib? Jelaslah, konsepsi semacam itu carut-marut Kalau kita berasumsi bahwa dua alam ini dipisahkan oleh garis pemisah yang bersifat fisis, maka itu artinya bahwa dua alam ini fisis dan material. Hubungan antara yang gaib dan yang kasat mata tak dapat dijelaskan secara material. Paling banter, yang dapat kita katakan agar hubungannya dapat dipahami adalah, bahwa hubungan dua alam ini hampir mirip dengan hubungan antara tubuh dan bayangannya. Dengan kata lain, alam ini merupakan refleksi alam lain. Al-Qur'an Suci menunjukkan bahwa segala yang ada di alam ini merupakan "bentuk rendah" dari apa yang ada di alam lain. Penyebutan "kunci-kunci" dalam ayat di atas, dalam ayat lain disebut "khazanah". disebutkan dalam Al-Qur'an Suci:

"Dan tidak ada sesuatu pun mdamkan pada sisi Kamilah khazanah-nya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu." (QS. al- Hijr: 21)

"Berdasarkan inilah Al-Qur'an Suci memandang segala sesuatu, bahkan batu dan besi, itu diturunkan. Kami turunkan (ciptakan) besi." (QS. al-Hadîd: 25)

Ini tidak berarti bahwa segala sesuatu, termasuk di dalamnya besi, merupakan pindahan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sesungguhnya segala yang ada di dunia ini, maka "akar" dan "hakikat"-nya ada di alam lain, yaitu alam gaib, dan segala yang ada di alam gaib, maka "bayang-bayang" dan "bentuk rendah"-nya ada di dunia ini.

Al-Qur'an Suci menyebutkan bahwa mengimani kegaiban itu wajib hukumnya. Al-Qur'an Suci juga memerintahkan supaya kita mengimani para malaikat, para nabi dan Kitab-kitab Suci. Kata Al-Qur'an, Rasul telah beriman kepada apa yang telah diwahyukan kepada-nya dari Tuhannya (Al-Qur'an), demikian pula orang-arangyang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasu-rasul-Nya. (QS. al-Baqarah: 285)

"Barangsiapa kafir kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, maka sesungguhnya orangitu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS. an-Nisâ': 136)

Dalam dua ayat ini Kitab-kitab Allah disebutkan secara tersendiri. Seandainya yang dimaksud adalah Kitab-kitab Suci yang diwahyukan kepada para nabi, maka tentu saja sudah cukup dengan hanya menyebutkan para rasul. Itu menunjukkan bahwa di sini arti Kitab-kitab tersebut adalah beberapa realitas yang berbeda. Al-Qur'an Suci sendiri merujuk kepada beberapa kebenaran yang tersembunyi. Al-Qur'an Suci menyebut kebenaran-kebenaran ini "Kitab yang nyata", "lembar yang terjaga", "Kitab induk", "Kitab yang tertulis", dan "Kitab yang tersembunyi". Mengimani Kitab-kitab metafisis seperti ini merupakan bagian dari doktrin Islam.

Para nabi pada dasarnya datang untuk memberdayakan umat manusia untuk, sejauh mungkin, memiliki pandangan umum tentang seluruh sistem penciptaan. Yang diciptakan itu bukan saja apa-apa yang terinderakan dan material yang menjadi bidang kajian ilmu-ilmu eksperimental. Para nabi ingin mengangkat pandangan manusia, dari yang terinderakan ke yang terpahamkan, dari yang kasat mata ke yang gaib, dan dari yang terbatas ke yang tak terbatas. Sayangnya, gelombang pemikiran materialistis yang terbatas yang datang dari Barat telah menyebar sedemikian rupa, sehingga sebagian orang bersikeras menurunkan konsepsi Islam yang tinggi dan substansial tentang dunia ke tingkat hal-hal yang terinderakan dan material.

Dunia dan Akhirat
Prinsip dasar lain dari konsepsi Islam tentang alam semesta adalah terbaginya dunia menjadi dunia kini dan dunia kelak (akhirat). Apa yang sudah kami kemukakan tentang yang nyata (kasat mata) dan yang gaib berkaitan dengan sebuah dunia yang mendahului dunia ini—sebuah dunia yang memberikan bentuk kepada dunia ini. Sekalipun dari satu sudut, akhirat adalah alam gaib dan dunia fana ini adalah alam kasat mata, namun kalau kita ingat fakta bahwa akhirat merupakan akibat dari dunia fana ini dan merupakan alam yang menjadi tempat kembali manusia, maka ini perlu dibahas tersendiri. Alam gaib adalah alam yang menjadi asal-usul kita, dan akhirat adalah alam tempat kita kembali. Itulah yang dimaksud Imam Ali as ketika mengatakan, "Semoga Allah memberkati orang yang tahu asal-usulnya, tempat eksistensinya sekarang, dan tempat kembalinya." Imam Ali as tidak mengatakan, "Semoga Allah memberkati orang yang tahu dari apa dia berasal dan apa tempat kembalinya." Kalau Imam Ali as berkata demikian, maka tentunya itu berarti bahwa kita diciptakan dari debu, kita akan kembali menjadi debu, dan kita akan dibangkitkan lagi dari debu. Kalau begitu, Imam Ali as tentu merujuk kepada ayat Al-Qur'an yang menyebutkan:

"Dari bumi (tanah) itulah Kami, menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain." (QS. Thâhâ: 55)

Yang dikatakan Imam Ali as di sini merujuk kepada beberapa ayat lain dan menunjukkan konsepsi yang lebih tinggi. Yang dimaksud oleh Imam Ali as adalah "alam tempat asal-usul kita, alam tempat kita berada sekarang, dan alam tempat kita kembali nanti."

Dari sudut pandang konsepsi Islam tentang dunia, seperti dunia kasat mata (alam syahadah) dan dunia gaib, dunia fana dan dunia kelak (akhirat) juga memiliki arti yang mutlak, bukan arti yang relatif. Yang relatif adalah perbuatan yang kita lakukan. Jika perbuatan dilakukan untuk memenuhi tuntutan keinginan kita sendiri, maka perbuatan itu merupakan perbuatan duniawi. Dalam banyak kasus, jika perbuatan dilakukan untuk Allah dan untuk mendapatkan keridaan-Nya, maka perbuatan itu merupakan perbuatan akhirat. Kami akan membahas alam semesta dan akhirat secara terperinci nanti dalam Bab
"Kehidupan Abadi".


Translate to Arabic Translate to Bahasa Indonesia Translate to Bulgarian Translate to Simplified Chinese Translate to Croatian Translate to English Translate to Czech Translate to Danish TTranslate to Dutch Translate to Finnish Translate to French Translate to German Translate to Greek Translate to Hindi Translate to Italian Translate to Japanese Translate to Korean Translate to Norwegian Translate to Polish Translate to Portuguese Translate to Romanian Translate to Russian Translate to Spanish Translate to Swedish Translate to Slovak Translate to Serbian Translate to Thai Translate to Turkey Translate to Filipino Translate to Filipino