This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Bersama Dr. KH. Moh. Hamdan Rasyid, MA, Kepala Bidang Takmir Mesjid Raya Jakarta Islamic Centre Jakarta, "Dakwah itu kewajiban kita, lakukan yang terbaik untuk umat ! semoga Allah selalu merahmatimu...

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.


Tampilkan postingan dengan label Hikmah Sedekah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hikmah Sedekah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Mei 2011

Bisa Berbagi dengan Anak Yatim

Minggu sore itu sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Suasana mulai terasa adem, menggantikan teriknya matahari yang memancar sesiang tadi. Nampaklah segerombolan remaja tengah bersenda gurau di sebuah rumah, di kawasan Depok.
Seorang di antaranya terlihat sedang mencuci mobilnya. Beberapa lainnya duduk-duduk di lantai sambil ngobrol dan berkelakar. Tiba-tiba senda gurau mereka terhenti. Sesosok anak kecil, dengan pakaian kumel dan lusuh sudah memasuki perkarangan rumah itu.
“Minta... Kak... saya minta uang...” sapanya dengan wajah memelas. Pemuda yang sedang mengelap mobil mengalihkan pandangan ke arah teman-temannya.
“Eh, ada yang bawa seribuan, nggak?” tanyanya mendesak.
Semua temannya merogoh kantong dan dompet.
“Nggak ada gue,” jawab seseorang.
“Iya.... gue juga nggak ada, Cek!”
Pemuda yang kerap dipanggil Bucek itu ganti memandang pengemis kecil dan berkata,”Maaf, Dek... lain kali aja, ya...”
Tapi omongannya terhenti ketika Leka, temannya mendadak beranjak dari tempatnya duduk dan memanggil Bucek.
“Apaan?”
“Ini.... kasih ini aja...” kata gadis itu seraya menyerahkan selembar uang lima ribuan.”
Bucek menggeleng, “Nggak usah, eh Man, cari gih di dalam uang seribuan...” serunya pada Arman, temannya yang lain.
“Nggak usah, ini aja lagi....” desak Leka kemudian.
“Kegedean, lagi....” tolak Bucek.
“Nggak apa-apa... gue cuma ada lima ribu uang kecilnya. Gue ikhlas, kok. Kasihan lagi...”
Sementara pengemis kecil itu belum beranjak, ia masih berada di perkarangan, memperhatikan perdebatan sepasang remaja itu.
“Iya gue ngerti, tapi takut kebiasaan dia, nanti ke sini melulu. Belum tentu buat dia, kan ada yang koordinir...” Bucek masih berusaha membujuk Leka.
“Ah, udahlah, Cek. Gue lagi pingin beramal, nih. Biarin deh.”
Tapi karena Bucek tak juga mengambil uang itu dari lengannya. Leka lalu meminjam sendal pemilik rumah dan bergegas ke halaman.
“Ngapain, loh Ka... becek lagi....” tanya teman-temannya. Gadis itu tak menghiraukan panggilan mereka. Segera ia mengejar pengemis kecil yang telah meninggalkan perkerangan itu.
“Dek... sini.... nih, buat kamu...” ia menyerahkan selembar lima ribuan padanya. Pengemis kecil itu menerima dengan senyum ceria.
“Jadi ngasih?” tanya temannya begitu Leka kembali. Gadis itu hanya mengangguk singkat.
“Biarin, kasihan...”
Tak ada hal lain dalam pikirannya selain ingin membantu gadis pengemis itu. Beberapa hari kemudian, Leka berpikir kalau sweet seventeennya semakin dekat. Sesampainya di rumah, ia bertanya pada tentenya.
“Tante... tabungan Leka ada berapa?”
“Emang kenapa?” tantenya balik bertanya.
“Gue cuma ingin tahu. Kan dikit lagi ulang tahun 17. Rencananya gue mau ngerayain sama anak yatim di Jambi nanti.” Jelasnya. Ulang tahunnya memang bertepatan dengan masa kenaikan kelas. Rencananya liburan nanti ia akan pulang kampung.
“Di sini kamu juga ngadain pesta nanti?”
“Pengennya sih... kalau duitnya cukup. Makanya gue mau itung-itungan. Tabungan gue di Tante berapa?”
Akhirnya mereka berhitung,”Ka... tabungan kamu kan 400 ribu. Nah, selain itu kamu dapat sangu 500 ribu dari Mbak Ven di Batam.” Jelas tantenya, menyebutkan nama tante yang lain, yang tinggal di Batam dan termasuk orang kaya.
Mata Leka bersinar, “Beneran? Berarti uang gue ada...” ia berhitung lagi.
“Tapi masih kurang kalau mau ngadain pesta di sini juga.” Keluhnya.
“Ka... sekarang kamu prioritaskan aja deh, kamu ngejar pahala atau duniawi aja. 17 tahun nggak selalu harus pesta kan?”
Leka masih menerawang. “Kalau gue minta tambahan lagi sama Tante Ven di Batam gimana, ya? Kan untuk merayakan sama anak yatim. Niat gue ada empat nih...” ia lalu menjabarkan keempat niat baiknya.
“Coba, aja....” kata tantenya lagi.
Takut-takut Leka mencoba mengirim sms pada tantenya di Batam. Alhamdulillah sang tante bersedia menambahi lagi satu juta.
“Alhamdulillah.... ah gue pesta di Jambi aja ama anak yatim, di Depok nggak usah,” putusnya kemudian.
Dua minggu kemudian, sekembalinya dari Jambi, gadis remaja itu berbagi cerita kalau ulang tahunnya sukses. Mengundang sekitar 50 anak yatim dan juga teman dan kerabat dekatnya.
“Alhamdulillah sukses, sampe rumah nggak muat.” Jelasnya ceria. Kemudian ia berkisah lagi. Akibat menyenangkan anak yatim itu, ia mendapat uang 500 ribu dari seorang kaya di kampungnya, yang merupakan teman dekat ayahnya.
“Ka nggak nyangka, padahal baru ketemu. Eh dapat 500 ribu.”
Gara-gara sedekah 5000, remaja itu mendapat ganti sebesar satu setengah juta rupiah dalam beberapa hari. Uang itu dipergunakannya untuk merayakan ulang tahun bersama anak yatim. Selanjutnya ia mendapatkan bonus sebesar 500 ribu lagi. Leka meyakini sedekah memang mampu memancing rezekinya.
***
(9 Agustus 2005)


Rabu, 25 Mei 2011

Ketika Tsunami Datang...

Pagi itu, Fahmi tengah duduk santai di rumahnya. Menikmati udara pagi yang sejuk dan menikmati secangkir teh dan roti yang telah disediakan istrinya. Maklum saja ia sedang menganggur sehabis keluar dari tempatnya kerja dulu. Jadi ia bisa menikmati hari-hari di rumahnya, meski pusing juga memikirkan nafkah bagi istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil.
“Belum ada order motret lagi, Pa? Atau kerjaan?” istrinya bertanya hati-hati.
Fahmi hanya menggeleng. Tabungannya mulai menipis. Ia harus mencari kerjaan kalau asap dapurnya mau ngebul, apalagi... ia masih tinggal di rumah mertuanya.... malu rasanya.
Istrinya kembali ke dalam dan menyalakan televisi, saat itulah berita yang menyentak terpampang.
“Pa... lihat deh, sini!” panggil istrinya. Malas-malasan Fahmi bangkit dan menghampiri istrinya.
“Apaan, sih?”
“Tuh, lihat aja.” Istrinya menunjuk televisi. Pandangan Fahmi beralih ke teve dan...
“Astaghfirullah....” desisnya berkali-kali. Bencana tsunami telah menghadang Aceh dan sekitarnya, bahkan menjadi bencana dunia.
“Ya ampun, bukan cuma Indonesia, ya...” istrinya menggeleng-gelengkan kepala.
“Lihat tuh, ya Allah... ombaknya tinggi banget, ya Allah...” masih kata istrinya. Fahmi tak bersuara. Tatapan matanya nanar dan mulai berkaca-kaca.
Lihatlah para manusia tak berdaya itu, mereka berupaya menyelamatkan diri dari terjangan tsunami, memanjat pohon, bertengger di atap, tergulung ombak. Lihatlah ribuan mayat yang hancur dan tak dikenal itu. Benar-benar Maha Besar Allah yang bisa melakukan semua ini. Benar-benar manusia tak bisa menolak kuasaNya.
Aceh hancur, hanya masjid yang maish berdiri tegak. Lihatlah Serambi Mekkah itu, lihatlah kota yang dikenal religius itu. Kini porak-poranda. Mengapa Aceh ya Allah, mengapa? Kasihan mereka. Fahmi tak habis pikir.
Namun, sejurus kemudian ia beristighfar... pasti ada skenario tertentu yang dibuat Allah dibalik bencana ini. Allah menjadikan sesuatu bukan tanpa sebab.
Fahmi mengusap perlahan titik air mata yang mulai menganak sungai di pipinya.
“Kita beri bantuan yuk buat mereka,” katanya kemudian pada istrinya.
“Iya, berapa?”
“Sekarang kita kumpulin aja dulu pakaian layak pakai, yuk!” mereka berdua beraksi. Kemudian Fahmi mengambil sejumlah uang simpanannya.
“Pa... nggak kebanyakan? Nanti kita gimana?” istrinya mengingatkan.
“Udahlah, Ma, mereka lebih butuh dari kita. Cobaan yang kita hadapi sekarang nggak ada artinya dibandingkan kesusahan mereka, nanti pasti ada rezeki buat kita. Yakin aja, deh,” hibur Fahmi.
Istrinya mengalah. Memang jumlah uang yang mereka sumbangkan tak sampai 500 ribu rupiah, namun terasa juga karena Fahmi masih menganggur. Tapi mereka ikhlas membantu saudara mereka yang kesusahan di tanah rencong sana.
Melalui sebuah yayasan, mereka menyalurkan bantuan itu. Kemudian Fahmi dan keluarganya setia mantengi televisi untuk melihat perkembangan situasi di Aceh.
Suatu hari, saat Fahmi sedang di depan tv, telepon rumahnya berbunyi.
“Assalamu’alaikum...” sapanya ramah.
“Wa’alaikum salam, Fahmi, ya?” sahut suara di ujung sana.
“Fah, selamat ya.... foto ente menang juara harapan.”
“Alhamdulillah... yang bener, lo?” Fahmi tidak percaya.
“Bener. Hadiahnya dua juta!”
Mendengar berita itu tak urung Fahmi langsung sujud syukur. Kemudian ia mengabarkan berita gembira itu pada istrinya.
“Ma, Alhamdulillah, foto yang Papa ikutin lomba jadi juara harapan. Hadiahnya dua juta...”
Ia memeluk erat istrinya, “Betul kan Papa bilang. Kalau udah rezeki nggak bakalan ke mana, deh...”
Rupanya, Allah masih menyimpan kejutan lain buat mereka. Beberapa hari kemudian, kembali telepon rumahnya berdering, “Ya hallo... Assalamu’alaikum?” sapa Fahmi lagi.
“Fah... masih nganggur lo?” tanya temannya di ujung sana.
“Ya... gitu deh, kenapa? Ada gawean?” Fahmi bertanya penuh harap.
“Bukan gawean sih, ada order motret kawinan, buat kita berdua, lumayan 7 juta, bo! Mau nggak?”
“Pake nanya lagi, ya mau dong!” Fahmi tertawa senang. Kembali ia sujud syukur dan mengabarkan berita itu pada istrinya.
“Alhamdulillah....ya Pa... Allah baik banget.”
“Makanya... Papa bilang juga apa, nggak usah takut nyumbang agak banyak buat Aceh kemarin...”
Mereka berdua bertatapan penuh makna.
(Dikisahkan seorang teman, 15 Agustus 2005)

Pengalaman Berkesan Saat Berhaji

“Bapak mau pergi haji ya?” tanya Bu Yayah pada suaminya yang baru pulang dari biro haji milik salah seorang saudaranya.

“Iya, diajak Hari.... jadi pembimbing haji.” Jawab suaminya. Bibir Bu Yayah maju beberapa senti. Kok bisa-bisanya saudaranya itu tidak mengajaknya pula. Ia kan juga ingin naik haji lagi.

“Ibu nggak bisa ikutan juga, Pak?” suaminya menoleh.

“Hmm...” ia menggaruk-garuk kepalanya, “bisa aja sih, asal Ibu bisa mencari 10 orang yang mau naik haji di bironya Hari. Nanti Ibu bisa berangkat juga dengan gratis.”

Bu Yayah mengangguk mengerti. Wah.. tantangan nih, pikirnya. Tanpa menunda lama, segera saja ia mulai menelpon kenalannya yang dianggap potensial.

“Bu Harun? Katanya mau haji, ayuk lewat biro saudara saya,” bujuk Bu Yayah pada seorang kawannya.

Begitu pula dengan beberapa teman lainnya. Mungkin sudah rezekinya, dalam waktu singkat Bu Yayah mampu mengumpulkan sepuluh ibu-ibu untuk pergi haji. Sebagai imbalannya, Bu Yayah bisa berangkat haji bareng suaminya pada tahun 2002 itu.

“Alhamdulillah akhirnya Ibu bisa pergi haji lagi bareng Bapak, ya..” syukurnya. Suaminya mengangguk, tersenyum.

“Emang udah rezeki Ibu, asal usaha dan doa, Allah pasti memberikan jalan keluar.” Cetus beliau.

Sesuai peraturan pemerintah, dari setiap uang yang disetorkan sebagai biaya haji, maka para peserta diberikan jatah uang saku sebesar 1500 real, termasuk Bu Yayah dan suaminya. Jadi, mereka mengantongi saku sekitar 3000 real. Sebelum berangkat haji, mereka sudah sepakat hanya uang saku suaminya yang akan dipakai belanja, sedangkan jatah Bu Yayah untuk disimpan.

Mulailah mereka berangkat ke tanah suci. Beribadah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, menahan hawa nafsu, menahan teriknya panas di waktu siang dan dinginnya suhu di saat malam. Alhamdulillah mereka bisa juga meredam nafsu belanja, hingga uang 1500 real yang dijadikan jatah saku berdua tidak cepat habis.

Suatu ketika di saat sedang menjalankan ritual salah satu ibadah, seorang ibu dengan logat Sunda yang kental mendekati Bu Yayah.

“Bu, punten... saya butuh uang...” katanya. Bu Yayah mengerutkan dahinya. Ibu itu terus memandang dan mengikuti langkahnya. Karena tak ingin ibadahnya terusik, Bu Yayah lalu memberinya uang sebesar 100 real.

“Kurang, Bu...” katanya kemudian.

Hati kecil Bu Yayah berdecak kesal. Sudah dikasih kok malah nawar ini orang? Namun sejurus kemudian ia beristighfar dan tanpa pikir panjang ia menambahkan 50 real pada ibu itu. Barulah wanita itu pergi sambil mengucapkan terima kasih.

Malamnya, ketika Bu Yayah, suaminya, dan rombongan hendak menunaikan shalat Isya di Masjidil Haram, tanpa disangkanya, ia bertemu lagi dengan ibu berlogat Sunda itu. Ia membawa sajadah yang bagus. Begitu melihat kehadiran Bu Yayah, ibu itu menghampiri dan mengajaknya ngobrol. Ia memperlihatkan sajadah bagus itu.

“Bu, lihat deh, sajadah ini bagus ya? Saya beli dari uang yang Ibu kasih,” pamernya dengan senyum mengembang. Bu Yayah hanya mengangguk dan ikut tersenyum. Ia senang pemberiannya dapat bermanfaat bagi ibu itu.

“Alhamdulillah, saya senang kalau pemberian saya ada manfaatnya...” jawabnya singkat.

“Semoga Allah membalas kebaikan Ibu, ya... saya doakan...” lanjut ibu itu sebelum berlalu.

Kemudian, Bu Yayah dan suaminya tak pernah terpikirkan lagi tentang ibu itu, mereka disibukkan dengan sisa ritual ibadah yang harus mereka kerjakan di tanah suci. Namun sungguh tak disangkanya beberapa hari kemudian, mereka malah ketemu lagi dengan si ibu berlogat Sunda itu. Tapi kali ini ia tidak sendirian, melainkan membawa seorang kawannya. Ibu itu memanggil Ibu Yayah yang sudah dilihatnya dari kejauhan. Bu Yayah mengerutkan dahinya. Subhanallah... bagaimana mungkin? Jamaah dari Indonesia, kan melimpah.

“Bu, kenalkan ini teman saya, “katanya dengan riang. Bu Yayah menyambut uluran tangan mereka.

“Ini, loh Ibu baik hati yang meminjamkan saya 150 real,” si Ibu logat Sunda menjelaskan pada kawannya.

“Ah, bukan pinjam, saya ikhlas kok ngebantu kalau emang ibu butuh,” ralat Bu Yayah.

“Nggak, saya pinjam kok, nih teman saya mau gantiin, mumpung kita ketemuan lagi.”
Bu Yayah melongo, teman ibu itu menyerahkan sekantong lusuh yang berisi uang.

“Ini, terima aja, Bu. Sebagai ganti. Sudah ya kami pamit.” Mereka berdua pergi menjauh.

Bu Yayah tak punya pilihan, kantong lusuh itu disimpan dalam tasnya, yang bahkan tak disentuhnya sampai mereka tiba di Indonesia. Begitu telah di rumah, Bu Yayah dan suaminya lantas menghitung sisa uang mereka.

“Eh... iya, Pak, tunggu!” Bu Yayah menepuk dahinya dan buru-buru ke kamarnya. Segera ia membuka kopernya dan mengambil kantong lusuh itu.

“Apaan itu, Bu?” suaminya heran.

“Ini loh, uang yang diganti ibu-ibu logat Sunda itu. Ibu belum tahu isinya.”

Mereka membuka ikatan kantong dan mengeluarkan isinya. Ternyata dalam rupiah dan...

“Subhanallah... kok bisa?”

“Kenapa?” suaminya menyahut.

Tapi istrinya malah terlihat kalang-kabut.

Iki, Pak... jumlahnya sampe 20 juta! Aduh... mana Ibu nggak tau alamat Ibu itu lagi.... gimana ya?” Bu Yayah panik.

“Ini rezeki dari Allah, Bu...” suaminya menenangkan.

“Tahu! Tapi kan yang ibu berikan sama dia nggak segede ini. Gimana dong?”

Setelah berembuk, sepasang suami istri itu memutuskan hanya mengambil sejumlah hak mereka, yaitu sekitar satu juta rupiah, sisanya di sumbangkan ke sebuah yayasan.

“Insya Allah ini keputusan terbaik...” bathin Bu Yayah berkata.

Maka, mereka menyerahkan uang itu ke sebuah yayasan untuk digunakan seperlunya. Tak terpikirkan setitikpun dalam benak mereka untuk mengambil semua jumlah uang itu, meskipun itu buah sedekah mereka dari Allah. Mereka yakin rezeki tak akan ke mana.

Dan... betul saja... beberapa minggu kemudian, suami Bu Yayah yang memang hampir bangkrut usahanya mendapat tawaran bisnis minyak tanah dan solar. Bisa dikatakan bisnisnya yang sekarang lebih bagus dari bisnisnya yang dulu.

“Lihat, Pak? Allah membalas perbuatan kita. Coba kalau sisa uang itu nggak kita alihkan ke yayasan, belum tentu begini, kan?”

Suaminya mengangguk setuju. Kini mereka tak perlu khawatir lagi akan kelaparan karena bisnis yang nyaris bangkrut telah tergantikan. Maha Besar Allah!

(Dikisahkan seorang kawan pada 15 Agustus 2005)

Sedekah dalam derasnya hujan

Suatu hari aku didatangi seorang ibu tua bersama anaknya yang masih duduk di kelas 2 smp. Mereka datang hujan-hujan dan bersepeda. Ibu itu hendak menjual sepasang gaun muslim miliknya padaku, dia bilang uang itu untuk membayar tunggakan sekolah anaknya, sebentar lagi anaknya mau ujian, tapi belum bayar uang sekolah dan uang ujian.

Aku melihat tubuh anak dan ibu itu menggigil kedinginan, aku sendiri sebenarnya saat itu hanya pegang uang yang hanya pas untuk membayar kuliahku. Aku sendiri juga sedang ditagih bayaran kuliah. Dengan membaca bismillah dan yakin akan kebesaran Allah, aku memberikan uang kuliahku untuk melunasi semua bayaran sekolah anak tersebut.

Setelah itu aku berdoa pada Allah semoga Allah memberi jalan keluar untukku atas kesulitanku dalam membayar uang kuliahku. Selang beberapa hari dari kejadian itu, secara tiba-tiba aku mendapat rejeki dari yang tidak kuduga-duga bahkan jumlahnya berlipat-lipat melalui usaha riasan pengantinku, tiba-tiba ada yang mau menyewa jasa riasan pengantinku.

Subhanallah, Allahu Akbar..

Mendahulukan Ibu

Ibu Yeni, seorang anggota DPR mengisahkan pengalamannya mengenai sedekah yang membawa keberkahan baginya. Kejadian ini dialaminya sekitar bulan Agustus tahun 2001 yang lalu. Saat itu ia mendapat undangan seminar di Sumatra Selatan. Karena masih masa nifas dan membawa anak bungsunya yang kala itu masih berusia 35 hari, ia memutuskan membawa ibunya.

Bukan main senangnya sang ibu dibawa pelesiran naik pesawat. Maklum saja, tahun 1972 waktu naik haji, ia cuma naik kapal laut. Di pesawat tak henti ibunda tercintanya menyatakan kesenangannya naik pesawat.

“Alhamdulillah... kesampaian juga Ibu naik pesawat,” syukurnya. Yeni yang duduk di sebelahnya tersenyum.

“Coba Buya (ayah) masih hidup ya... dia pasti senang naik pesawat kayak gini,” tuturnya lagi dengan mata berkaca-kaca. Yeni menoleh dan mengusap pundak ibunda tercintanya.

“Sudahlah Bu, Buya pasti sudah bahagia sekarang. Selama hidup Buya kan sangat baik, maka Allah pasti melimpahkan kebahagiaan padanya...”

“Yah...” Ibu menganguk-angguk, “Buya emang baik....” lanjutnya sendu.

Tidak lama kemudian mereka tiba di bandara dan diantar oleh panitia ke sebuah penginapan yang sederhana. Ibunya nampak sangat bahagia. Untuk menyenangkan hatinya, Yeni memesankan makanan kesukaannya.

“Dimakan, Bu...” kata Yeni. Ibunya mengangguk dan mulai makan dengan lahap.

Keesokan harinya saat Yeni ikut seminar, Ibu menjaga cucunya yang masih merah di penginapan. Seminar itu untunglah tidak begitu lama. Jeda makan siang, mereka diajak makan di sebuah restoran khas Sumatra Selatan. Konon restoran ini biasa ditongkrongi oleh para pejabat dari pusat.

Memang suasananya sangat asri, bertingkat dua, dan Subhanallah makanan yang tersaji juga terasa sangat nikmat.

“Pepes ikan dengan duriannya enak sekali, Yen...” Ibu memberikan penilaian seraya makan dengan lahap.

“Kalau di Tangerang, daerah kita durian cuma untuk Kinca teman makan ketan ya, ternyata buat pepes juga enak,” imbuhnya kemudian.

“Alhamdulillah... kita di sini jadi nambah ilmu kan, Bu?” balas Yeni tersenyum.

Selesai makan, mereka menuju penginapan lagi untuk berkemas. Ya, mereka harus kembali ke Jakarta hari itu juga. Sebelum berangkat, Yeni memeriksa sebuah bungkusan yang diberikan panitia saat seminar tadi.

“Subhanallah... bagus amat nih kain sutra?” desisnya takjub sambil menyidik bahan itu dengan teliti. Yeni bertekad akan menjahitnya setiba di Jakarta nanti.

Saking indahnya kain tersebut, di pesawatpun Yeni tak kuasa membayangkannya. Menjahitnya menjadi baju muslimah yang indah yang akan dikenakannya pada event-event tertentu. Tapi sejenak kemudian hati kecilnya berkata, “Berikan saja pada ibumu....”

“Bagaimana, ya.... bagus banget sih?” sekilas bathinnya tak rela. Rupanya syetan sedang merasuki niat baiknya.

“Sudah... kasih Ibu saja, supaya dia senang, kamu kan bisa beli nanti lagi...” hati kecilnya kembali berkata.

Sejenak Yeni merasa bimbang. Terus-terang saja, ia sangat ingin memiliki bahan itu untuk dirinya. Sudah dibayangkannya begitu manisnya ia dalam balutan baju berbahan sutra itu. Suaminya pasti memuji, anak-anaknya pasti juga bangga. Tapi...

“Ah, sudahlah biar untuk ibuku saja,” hati kecilnya memenangkan pergolakan bathin.

Maka Yeni memberikan kain sutra itu pada ibunya. Mata ibunya bersinar menerima pemberian itu. Paras bahagia yang tak bisa ditutupinya. Yeni tak menyesal memberikannya.

Sesampainya di Jakarta, Yeni kembali mengisi hari-harinya dengan seabreg aktivitas yang menunggunya. Ia sudah tak teringat lagi kain sutra indah pemberian panitia seminar di Sumatra Selatan itu. Sampai dua hari kemudian seorang temannya kembali dari Malaysia dan membawa titipan dari teman Yeni, yang orang asli Malaysia.

“Apaan ini?” Yeni mengerutkan dahinya, menatap bungkusan yang diberikan temannya itu.

“Titipan dari teman Malaysiamu, aku nggak tahu isinya, buka aja gih...”

Tanpa menunggu lama, Yeni membuka bungkusan itu dan terbelalak,”Subhanallah bagus banget....” serunya takjub. Temannya pun ternganga. Selembar bahan sutra yang lebih halus dan lembut warnanya...

“Benar-benar Allah Maha Besar...” Yeni berbisik pelan.

Kain sutranya telah digantikan oleh Allah dengan yang lebih bagus dan manis. Yeni kemudian teringat sebuah hadits Rasulullah Saw, bahwa kebaikan yang cepat mendapatkan balasannya di dunia adalah kebaikan kita kepada orang tua....

(Seperti dikisahkan seorang anggota Dewan, melalui email)

Translate to Arabic Translate to Bahasa Indonesia Translate to Bulgarian Translate to Simplified Chinese Translate to Croatian Translate to English Translate to Czech Translate to Danish TTranslate to Dutch Translate to Finnish Translate to French Translate to German Translate to Greek Translate to Hindi Translate to Italian Translate to Japanese Translate to Korean Translate to Norwegian Translate to Polish Translate to Portuguese Translate to Romanian Translate to Russian Translate to Spanish Translate to Swedish Translate to Slovak Translate to Serbian Translate to Thai Translate to Turkey Translate to Filipino Translate to Filipino