This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Bersama Dr. KH. Moh. Hamdan Rasyid, MA, Kepala Bidang Takmir Mesjid Raya Jakarta Islamic Centre Jakarta, "Dakwah itu kewajiban kita, lakukan yang terbaik untuk umat ! semoga Allah selalu merahmatimu...

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.


Kamis, 25 Februari 2010

IMAN KEPADA NABI DAN RASUL

DEFINISI NABI
Nabi menurut tata bahasa Arab berasal dari kata نَبَّـأ dan أَنْبَأ dengan hamzah, yang berarti أَخْبَر mengabarkan. Nabi disebut nabi karena dia mengabarkan dari Allah atau karena dia diberi kabar oleh Allah, bisa jadi nabi dari kata نبَا tanpa hamzah yang berarti tinggi, nabi disebut nabi karena derajat dan kedudukannya tinggi. Nabi secara istilah adalah seorang laki-laki merdeka di mana Allah mengabarkan syariat sebelumya kepadanya agar dia menyampaikan kepada orang-orang yang di sekitarnya dari kalangan pemilik syariat tersebut.

DEFINISI RASUL
Rasul secara bahasa adalah orang yang mengikuti berita orang yang mengutusnya. Orang-orang Arab berkata, جَأَءَتِ الإبِلُ رَسَلاً yang berarti unta itu datang silih berganti. Rasul bisa digunakan untuk risalah, bisa pula untuk orang yang diutus. Rasul secara istilah adalah laki-laki merdeka yang diutus oleh Allah dengan syariat dan Dia memerintahkannya untuk menyampaikannya kepada orang yang tidak mengetahui atau menyelisihinya dari kalangan orang-orang di mana dia diutus kepada mereka. Antara Nabi dan Rasul. kenabian lebih umum karena semua Rasul adalah Nabi tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Jadi, orang yang bukan Nabi pasti bukan Rasul atau dengan kata lain, untuk menjadi Rasul dia harus menjadi Nabi terlebih dahulu.

Rasul membawa risalah kepada orang yang tidak mengetahui agama dan syariat Allah, atau kepada orang-orang yang merubah syariat dan agama untuk mengajar mereka dan mengembalikan mereka kepadanya. Sedangkan Nabi SAW diutus dengan dakwah syariat sebelumnya. Kenabian adalah pemberian Allah. Kenabian bukan derajat puncak yang bisa diraih dengan cara-cara dan latihan-latihan tertentu, manusia tidak mungkin mendapatkannya dengan usaha mereka karena ia bukan gelar yang mungkin diraih dengan jerih payah. Kenabian adalah derajat tinggi dan kedudukan mulia yang Allah berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Orang yang Allah berkehendak memilihnya sebagai Nabi telah disiapkan oleh Allah sedemikian rupa untuk memikul kenabian tersebut. Allah menjaganya dari setan dan melindunginya dari syirik serta menganugerahkan perilaku terpuji kepadanya. Dalil yang menetapkan bahwa kenabian adalah murni anugerah Allah adalah firman Allah; “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.” (QS. Maryam: 58).

Firman-Nya kepada Musa;
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu.” (QS. Al-A’raf: 144).

Firman-Nya tentang ucapan Ya’qub kepada Yusuf;
“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi).” (QS. Yusuf: 6).

Manakala Allah mengutus Nabi Muhammad, orang-orang Jahiliyah melihatnya tidak layak menyandang anugerah kenabian, ada yang - menurut mereka - lebih layak darinya yaitu seorang laki-laki besar di Makkah atau Thaif, al-Walid bin al-Mughirah atau Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, maka Allah mengingkari pandangan keliru mereka. Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah Rabb yang bertindak mutlak, maka tidak seorang pun berhak cawe-cawe (campur tangan) dalam apa yang dikehendkai Allah termasuk memberikan derajat kenabian kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Firman Allah; “Dan mereka berkata, ‘Mengapa al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini.’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 31-32).

Firman Allah, “Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.’ Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al-An’am: 124).

Ayat-ayat ini mengandung petunjuk yang jelas bahwa kenabian tidak diperoleh dengan cara atau sarana tertentu. Ia murni nikmat Allah yang dengan hikmah dan ilmu-Nya diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya. Ia bukan untuk orang yang mengharapkan apalagi mengklaimnya.

SIFAT NABI DAN RASUL
Nabi dan Rasul memikul tugas berat dan besar: menerima wahyu, melaksanakan dan menyampaikannya kepada umat, membimbing, dan memimpin umat. Karena itu Allah memilih untuk tugas besar ini figur yang berasal dari nasab terbaik, akal sempurna, dan jiwa yang bersih di samping Dia membekalinya dengan akhlak-akhlak dan sifat-sifat yang luhur, maka seorang Nabi dan Rasul adalah teladan akhlak dan sifat bagi umatnya.

  • Shidiq
Shidiq berarti jujur lawan kata dari kadzib (dusta). Bagi Nabi dan Rasul ini adalah sifat dasar dan pangkal. Jika tidak demikian maka yang bersangkutan mungkin berdusta atas nama Allah dan membohongi umatnya. Oleh karena itu Allah mengabarkan tentang rasul-rasul-Nya bahwa mereka adalah para shiddiqun.

Firman Allah; “Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?’ Inilah yang dijanjikan (Tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasul(Nya).” (QS. Yasin: 52).

Firman Allah tentang Ibrahim, “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi.” (QS. Maryam: 41).

Firman Allah tentang Muhammad, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33).

  • Sabar
Allah mengutus para Rasul dan Nabii dengan membawa berita gembira dan menyampaikan peringatan. Mereka mengajak umat beribadah kepada Allah, memperingatkan mereka dari akibat buruk menafikan perintah Allah. Di jalan ini para Rasul mendapatkan tantangan dan permusuhan keras, hinaan, cacian, makian, pukulan, teror, intimidasi, pengucilan bahkan usaha makar sampai pembunuhan mereka dapatkan. Jika para Rasul tidak memiliki kesabaran tertinggi niscaya mereka tidak mampu mengemban amanat risalah Allah yang ada di pundak mereka dengan segala resiko dan tantangan berat yang menghadang.

Kepada Muhammad SAW Allah memerintahkan bersabar seperti kesabaran para Rasul Ulil Azmi. FirmanNya; “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (QS. Al-Ahqaf: 35).

IMAN KEPADA SEMUA NABI DAN RASUL
Wajib meyakini bahwa Allah mengutus seorang Rasul pada masing-masing umat yang menyeru mereka kepada tauhid dan kufur terhadap apa yang disembah selain Allah. Beriman kepada seluruh Rasul dan Nabi adalah wajib, tanpa membedakan. Artinya kita tidak boleh beriman kepada sebagian dan kufur kepada sebagian yang lain. Sebab hal yang emikian itu sama artinya dengan tidak beriman kepada semuanya. Firman Allah; “Rasul telah beriman kepada al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya,’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285).

Firman Allah; “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasulNya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa`: 150-152).

Ini mernyiratkan bahwa kita wajib beriman kepada para nabi dan Rasul baik yang kita ketahui namanya maupun yang tidak. Adapun yang sudah kita ketahui namanya, maka kita beriman kepada mereka secara khusus, seperti kerpada: Nuh, Shalih, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan lain-lain. Dengan tetap meyakini sepenuhnya bahwa Allah juga memiliki Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul selain mereka. Firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” (QS. Al-Ghafir: 78).

Dari Blog Indra Muslim


Selasa, 23 Februari 2010

RANDOM AYAT-AYAT AL QUR'AN






















Untuk mendapatkan WIDGET RANDOM AYAT ini tampil juga di situs anda, silahkan singgah, baca petunjuk, dan unduh di sini.

Rabu, 10 Februari 2010

AL HADITS

Dari WIKIPEDIA Bahasa Indonesia - Ensiklopedi Bebas

Hadits
(bahasa Arab: الحديث, ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

ETIMOLOGI

Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]

STRUKTUR HADITS

Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)
SANAD

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi, yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah:
  • Keutuhan sanadnya
  • Jumlahnya
  • Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

MATAN

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
  • Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  • Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
KLASIFIKASI HADITS

Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)

BERDASARKAN UJUNG SANAD

Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :
  • Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
  • Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
  • Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).

BERDASARKAN KEUTUHAN RANTAI (LAPISAN SANAD)

Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1 (Para sahabat) > Rasulullah SAW
  • Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
  • Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
  • Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
  • Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
  • Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
BERDASARKAN JUMLAH PENUTUR

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
  • Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
  • Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
    • Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
    • Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
    • Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
BERDASARKAN TINGKAT KEASLIAN HADITS

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
  • Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Sanadnya bersambung;
    2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
    3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
  • Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
  • Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
  • Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
JENIS-JENIS LAIN

Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
  • Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
  • Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
  • Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
  • Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
  • Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
  • Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
  • Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
  • Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
  • Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya
PERIWAYAT HADITS

PERIWAYAT HADITS YANG DITERIMA OLEH UMAT MUSLIM

  1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
  2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
  3. Sunan Abu Daud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
  4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
  5. Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H)
  6. Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
  7. Imam Ahmad bin Hambal
  8. Imam Malik
  9. Ad-Darimi
PERIWAYAT HADITS YANG DITERIMA OLEH SYI'AH

Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
  • Ushul al-Kafi
  • Al-Istibshar
  • Al-Tahdzib
  • Man La Yahduruhu al-Faqih
PEMBENTUKAN DAN SEJARAHNYA
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.

MASA PEMBENTUKAN AL HADITS

Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.

MASA PENGGALIAN

Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

MASA PENGHIMPUNAN

Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

MASA PEMBUKUAN DAN PENYUSUNAN

Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.

KITAB-KITAB HADITS

ABAD KE-2 HIJRIAH

Beberapa kitab yang terkenal :
  1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
  2. Al Musnad oleh As Syafi'i (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
  3. Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi'i
  4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
  5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
  6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
  7. Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
  8. As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
  9. As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadist. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.
ABAD KE-3 HIJRIAH

  • Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
  1. Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
  2. Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
  3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
  4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
  5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
  6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
  7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Imam Malik imam Ahmad

ABAD KE-4 HIJRIAH

  1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
  5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
  6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
  7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
  8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
  9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
  11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
ABAD KE-5 HIJRIAH DAN SETELAHNYA

  • Hasil penghimpunan
  • Bersumber dari kutubus sittah saja
  1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
  2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
  • Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
  • Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
  • Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
  • Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
  1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
  3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
  4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
  5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  6. 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
  7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
  • Kitab Al Hadits Akhlaq
  1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  • Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)
  1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
  4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
  5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
  • Mukhtashar (ringkasan)
  1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
  2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  • Lain-lain
  1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
  2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
BEBERAPA ISTILAH DALAM ILMU HADITS

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
  • Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim
  • As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
  • As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal
  • Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

Lebih jauh tentang Hadist ini, silahkan lihat juga situs Al Islam di sini.



Selasa, 09 Februari 2010

WHY DID POPE JOHN PAUL II KISS THE KORAN?

Roman Catholic Blog.com wrote this;
Speaking of Islam, James Akin has a good article on the infamous Pope John Paull II Koran kissing incident:

A reader writes;

I had never heard you address this on your show or Blog – though I’m certain you are familiar with it and have covered it before. But what gives about the story of JPII kissing the Koran?! I’ve seen it mentioned enough times by serious Catholics to accept this must have happened. However, I don’t know the context of this event or any other details so I can only wonder what our late Holy Father might have been thinking… Your thoughts?

This question has come up over the years, and I know that I've addressed it on the show (though I don't have the faintest idea in what episodes), but I don't seem to have done so on the blog, so here goes. . . .

First, I've reprinted the famous picture of the event above so that people can see what is being talked about. Based on the picture alone, I would not be sure what is happening. The book is ornate and could be something other than the Quran. From the looks of it, it could be a book of the gospels. However, the former Chaldean patriarch--Raphael Bidawid--was present at the meeting where the event occurred, and in an interview with the press service FIDES, he said the following:
On May 14th I was received by the Pope, together with a delegation composed of the Shi'ite imam of Khadum mosque and the Sunni president of the council of administration of the Iraqi Islamic Bank. There was also a representative of the Iraqi ministry of religion. I renewed our invitation to the Pope, because his visit would be for us a grace from heaven. It would confirm the faith of Christians and prove the Pope's love for the whole of humanity in a country which is mainly Muslim.

At the end of the audience the Pope bowed to the Muslim holy book, the Qu'ran, presented to him by the delegation, and he kissed it as a sign of respect. The photo of that gesture has been shown repeatedly on Iraqi television and it demonstrates that the Pope is not only aware of the suffering of the Iraqi people, he has also great respect for Islam [SOURCE].
What, then, is one to make of the event?
It seems that there are a number of possibilities:
1) The FIDES news agency misquoted the patriarch.
2) Patriarch Bidawid was mistaken about what happened. It was not the Quran but something else.
3) John Paul II kissed the Quran but didn't know the nature of the book he was kissing.
4) John Paul II kissed the Quran and knew that this is what he was doing.
I would love to think that either option (1), (2), or (3) was the case, but I have no evidence that any of them was the case.The most likely one of the three, to my mind, would be (3), because so far as I know, John Paul II was not an Arabic speaker and may not have understood the nature of the book that he was being presented with.

People shove all kinds of books into the pope's hands at audiences, and if the pope was under the impression that the thing to do with a gift in Iraqi culture is to kiss it as a sign of respect to the one who gives the gift then he might have kissed it reflexively, not even understanding the nature of the book.

While this is possible, I think it likely that an interpreter explained the nature of the gift that was being given on this occasion. This still leaves the possibility that the pope kissed it as part of Middle Eastern politeness rather than as a gesture of respect for the book itself.

I have heard claims that in some Middle Eastern cultures that this is a typical gesture of respect for one giving a gift, but I have asked Chaldean friends of mine whether this is the case in Iraqi culture and the answer was a definite "No." "The pope put his foot on the neck of all Chaldeans with this action" was the response I was given. (Just to make things clear, putting your foot on the neck of someone is a bad thing in Iraqi culture.)

Still, the pope may have been under the mistaken impression that this was the appropriate thing to do when receiving a gift in their culture. He can't be an expert on every culture in the world, and he could get this wrong. Or maybe he didn't.

Maybe he knew it was the Quran and kissed it anyway, not as a customary gift giving response, but for some other reason.

What might that reason be?
It certainly wouldn't be that he believes in Islam or believes that Islam is on a par with Christianity. If he believed either of these two things then he (a) wouldn't be the earthly head of the Christian faith and (b) wouldn't have approved the publication of Dominus Iesus, which asserts the salvific universality of Jesus Christ and the Church.

Any attempt to represent him as thinking one of those things doesn't even get out of the gate.
So what might he have been thinking?

We're only speculating here, but two things spring to mind as what JP2 might have been thinking:
1) The Quran does contain some elements of truth (as well as grave elements of falsehood) and he might have wanted to honor the elements of truth it contains.
2) Showing respect in this way could foster world peace and interreligious harmony.
Of these two, I would conjecture that the latter would have been uppermost in John Paul II's mind, though the former may not have been absent.
John Paul II was a man who was enormously concerned with world peace and interreligious harmony. As a young man he lived through the horrors of World War II, which had a permanent effect on him and his generation and their views about war and peace.

As a mature man he lived through the Cold War that repeatedly brought the world to the brink of nuclear disaster, and this also had a permanent effect on him and his generation and their views about war and peace. The constant threat of nuclear warfare hung particularly heavily over Europe--which would have been the chief battleground in a conflict between the Soviet Union and the West--and (particularly on the heels of WWII) it deeply impressed the "find peace at any cost" message on his generation.

As a result of the Cold War, the nations of western Europe were forced into an alliance (NATO) whereby their centuries-long enmities (as between France and Germany) had to be suppressed for the sake of common survival. Negotiation became the key to survival in western Europe, and the same message was driven home to those in Eastern bloc countries, such as John Paul II's native Poland.

By letting the US shoulder the main burden for the military defense of Europe (during and after the Cold War), many Europeans of John Paul II's generation absorbed the idea that negotiation was paramount and could solve virtually any problem. It wasn't until the events of the Global War On Terror that this idea began to be seriously called into question many in European circles.

As a result, as a man of his generation, John Paul II--for the best of motives--may have overestimated both the need for and the utility of gestures such as the one exhibited in the Quran-kissing event.

If the former pontiff did understand that the gift was a Quran and if he wasn't under the impression that kissing a gift was a standard response in Iraqi culture then I would suppose that he did so out of a desire to foster peace and interreligious harmony, but it would still have been a mistake to my mind.

The Quran, whatever elements of truth it contains, also contains venomous attacks on the divinity of Christ and on Christian doctrine and these make it inappropriate for the Vicar of Christ to kiss it under any circumstances.

John Paul II also may not have been attending to the gravity of the false elements in the Quran. Even if he knew them, he may not have been thinking about them and may have acted on the spur of the moment, without fully thinking through his action.

Fortunately, the infallibility of the pope and the indefectibility of the Church do not extend to such actions. A pope is not attempting to make anything remotely like a dogmatic definition in an act of this nature. And so, however misguided the action may have been and however good the motives for it may have been, it would constitute an error that does not touch upon papal infallibility or ecclesial indefectibility.

It would be one of the mistakes that all fallen humans are heir to, even the vicars of Christ.


Feedback
to Romance Catholic Blog
to Jimmy Akin Org.



SUNATULLAH - MAJALAH HIDAYATULLAH



SITUS-SITUS MAJALAH ISLAM



SYARIAH ONLINE



MUALAF CENTER ONLINE



AL SHIA



AL GHURABA FOUNDATION





KAMPUS ISLAM



PENYEJUK JIWA



OASE QALBU



MUBAROK INSTITUTE



DARUSSUNNAH



Rabu, 03 Februari 2010

SUNNI PATH



SOAL JAWAB ISLAM - muslim.or.id



Selasa, 02 Februari 2010

DARI ABU ALMAIRA



DAKWAH 2YOU



MARI BELAJAR ISLAM



JUST READ THIS


Just Close Your Eyes, And Imagine

Just close your eyes and imagine,
You have just one more day to live;
One more day to show Allah,
To you "Heaven" should he give?

To say goodbye to your family,
And all your closest friends;
To ask for forgiveness,
And try to make amends;

Just close your eyes and imagine,
Did you miss a prayer or two?
Did you please Allah,
and do the things,
He asks every Muslim to do?

Just close your eyes and imagine,
Tomorrow you will be gone;
No more second chances,
To smell the mist of dawn

Just close your eyes and imagine,
The angels are going to come,
To take your soul and ask,
In your life "what have you done?"

Just close your eyes and imagine,
The words you want to say;
Will not come out you may realize,
For all your deeds you'll pay;
You want to speak out, to cry out,
In Allah I believe;
But, silence beckons you,
No more can u deceive;

Just close your eyes and imagine,
Finally, Your silence breaks away;
You tell the angels you believe in Allah,
And for him, you did pray;
You say as tears are pouring down,
Please, Allah, forgive me,
For the sins that I committed,
Have mercy is my plea!

Just close your eyes and imagine,
That the smell of musk surrounds you,
From your head down to your feet;
You realize Allah forgave you,
Hell fire you did defeat;
But we all know as Muslims,
When it's time for you to die;
You'll not be given a second chance,
To say a last goodbye;

So live each day as If it's your last,
And never forget to pray;
So when the angels come to ask,
You'll know the words to say.


[Malik Imran Awan]


For more reading in English, please click here

Translate to Arabic Translate to Bahasa Indonesia Translate to Bulgarian Translate to Simplified Chinese Translate to Croatian Translate to English Translate to Czech Translate to Danish TTranslate to Dutch Translate to Finnish Translate to French Translate to German Translate to Greek Translate to Hindi Translate to Italian Translate to Japanese Translate to Korean Translate to Norwegian Translate to Polish Translate to Portuguese Translate to Romanian Translate to Russian Translate to Spanish Translate to Swedish Translate to Slovak Translate to Serbian Translate to Thai Translate to Turkey Translate to Filipino Translate to Filipino