Sabtu, 30 April 2011

Paquita Widjaja : Mimpi Itu Menundukkan Rasioku

Sebuah studio di pojok sebuah rumah nan luas. Dengan rindang pepohonan, kolam renang pribadi, interior dan eksteriornya yang artistik, maka lengkaplah kesan elite hunian di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, itu. Di situlah Paquita Widjaja tinggal. Seorang rasionalis yang menemukan hidayah Islam lewat kombinasi keingintahuan yang kental, pendalaman rasional, dan peristiwa-peristiwa gaib yang ?dikirimkan? padanya. Di suatu sore yang cerah, ia menuturkan pengalaman religiusnya.

Suatu ketika datang kesempatan untuk berumrah, atas ajakan ibu pacarku. Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Di Mekah, saat tiba waktu salat, aku menuju Masjidil Haram. Kutenteng tas kecil. Ada uang seratus dolar di dalamnya. Dalam perjalanan aku bertemu seorang anak peminta-minta. Kulitnya hitam. Tangannya diulurkannya kepadaku. Aku sudah mau memberinya uang tapi, ?Awas, jangan sembarangan memberi uang kepada orang yang belum dikenal,? tiba-tiba tebersit dalam hatiku. Rasioku bilang, kalau aku memberi anak itu, akan berdatangan anak-anak lainnya.

Bisa-bisa mereka mengeroyok aku. Akhirnya aku berlalu, tak jadi bersedekah. Anehnya, anak itu malah menatapku sambil tertawa-tawa. Sekonyong-konyong aku dijalari perasaaan aneh. Ada semacam beban karena aku tidak memberi sedekah, padahal sejak melihatnya pertama kali, aku sudah punya niat untuk memberi uang. Dan, entah bagaimana saat itu perasaanku mengatakan uang di dompetku pasti sudah tidak ada.

Selama salat, tas kuletakkan di depan sajadah sehingga mudah terlihat kalau ada yang jahil. Sampai selesai salat, tas itu tampak aman-aman saja. Tak ada yang mengusiknya. Tapi, tetap ada firasat, uang itu sudah hilang. Perasaan itu begitu kuatnya, dan terus menggerayangiku sampai aku kembali ke hotel. Ketika hendak makan, kurogoh dompetku, masih ada tapi isinya sudah tidak ada, uang seratus dolar itu sudah raib. Aku tidak terkejut atau kebingungan. Aku kan sudah menduga uangku hilang, jadi aku ketawa saja.

Ikut Puasa. Dibesarkan dalam keluarga Kristen, aku termasuk orang yang rasional, selalu ingin tahu segala sesuatu yang mengusik pikiranku. Sudah lama aku tertarik pada Islam, persisnya sejak duduk di bangku SMP. Apalagi, teman-temanku mayoritas muslim. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku. Acap kali aku berdialog dengan diri sendiri mengenai agama ini. Namun tidak selalu kutemukan jawabannya. Kalau sudah begitu, aku akan melabuhkan pertanyaan itu kepada teman-teman dan tanteku, adik ibuku.
Tanteku seorang muslimah. Ketika aku di SMP, ia tinggal bersama keluargaku. Kerap aku menyaksikannya menunaikan ibadah salat, dan itu sangat menarik perhatianku. Dari dia juga aku kenal surah Al-Fatihah. Sampai bisa kuhafal.

Aku merasa, begitu kuat daya tarik ritual Islam yang dijalani tanteku ini. Ketika ia berpuasa di bulan Ramadan, aku kerap ikutan berpuasa, walaupun belum memeluk Islam. Walaupun puasanya bolong-bolong. Bagaimana rasanya? Jujur saja, ketika berpuasa yang aku rasakan bukan empati kepada orang-orang miskin. Bagiku, tidak seketika itu orang berpuasa dapat berempati pada orang papa, yang acap kali melewati hari-harinya tanpa makan. Justru sewaktu berbukalah aku dapat merasakan nikmatnya hidangan yang dimakan. Semua hidangan menjadi sangat lezat.

Aku jadi dapat merasakan bagaimana seseorang yang tidak bisa makan. Oh, kalau orang kelaparan betapa nikmatnya melahap makanan seperti ini. Ada kalanya kita berpikir tidak ada manfaatnya memberi mereka makanan atau uang recehan. Tetapi setelah kita merasakan, betapa yang sedikit saja itu bisa menjadi sesuatu yang nikmat di kala kita lapar, maka saat mau berderma kita tak akan berpikir ke situ lagi.

Butuh Iman. Untuk mencari tahu segala hal tentang Islam aku juga banyak membaca buku soal Islam. Kadang-kadang, di kala sendiri, aku kerap merenung lalu berpikir tentang ajaran Islam. Tanpa kutahu sebabnya. Sering terlintas dalam pikiranku, apa sih yang membuatku tertarik pada Islam?

Setelah melakukan proses pencarian dalam memahami ajaran Islam, mulai kutemukan setitik jawaban atas banyak pertanyaan yang menggelayuti pikiranku. Bagiku Islam adalah agama yang senantiasa mengingatkan umatnya.

Misalnya saja, kalau mau salat, semuanya harus bersih. Berarti setidaknya lima kali sehari dia diingatkan untuk membersihkan diri. Kita kan nggak mungkin mengandalkan pada kesadaran diri sendiri. Tidak semua orang memiliki kesadaran seperti itu. Setelah aku telusuri lebih jauh lagi, dalam agama Islam juga pelbagai hal diatur dengan tegas serta diikuti pula dengan penjelasan yang gamblang. Kita tidak boleh makan atau minum ini-itu, semua diatur dengan
tegas. Apa yang dilarang dan apa yang tidak dilarang, semua dipaparkan dengan begitu jelas. Bukan cuma itu. Islam juga agama yang sarat dengan nilai-nilai kedisiplinan.
Nuraniku mengatakan, dengan ritual Islam aku merasa dekat dengan Sang Maha Pencipta. Ada suatu perasaan bangga dalam diri aku memilih iman Islam ini. Mungkin lingkungan juga banyak mempengaruhi pilihanku ini.

Dalam keluargaku pun selalu ada kesempatan untuk menentukan pilihan. Dua hal itu, lingkungan muslim dan kondisi keluarga demokratis, membuatku jadi leluasa menemukan kebenaran. Hanya saja, kebenaran itu tak segera kuyakini.

Padahal, Tuhan sudah memberi petunjuk berkali-kali. Mungkin, karena dasarnya aku memang paling tak percaya hal-hal yang gaib. Mungkin Tuhan lantas ?berpikir?, ?Ini orang harus dikasih tunjuk sesuatu biar sadar.?

Ini terjadi saat aku mengikuti syuting di Nias. Waktu itu aku belum juga memeluk Islam, meski kegandrungan sudah ada. Pulau Nias tiap hari diguyur hujan deras. Dua bulan kami terperangkap sebab mana ada pesawat yang berani terbang di tengah cuaca yang tak ramah itu. Padahal, aku harus segera ke Jakarta. Kepada teman-teman aku bilang, Kalau hujannya berhenti, aku akan salat.? Eh, tiba-tiba saja hujan berhenti. Sungguh menakjubkan. Hujan sederas itu benar-benar berhenti sama sekali, dan cuaca langsung cerah.

Karena cuaca mendadak menjadi sangat cerah, aku bisa ke Jakarta hari itu juga. Pesawat yang kunaiki bertolak dari Gunung Sitoli di Nias ke Medan dulu, baru ke Jakarta tanpa kesulitan apa pun. Kemudahan ini seharusnya sudah cukup menjadi petunjuk-Nya untukku.

Walaupun aku berulang-ulang ditunjukkan ?sesuatu? yang sebelumnya tidak aku percayai, toh aku tidak langsung masuk Islam. Aku masih bimbang, apakah semua itu bukan terjadi karena kebetulan saja.

Suatu ketika, perenunganku sampai pada rasa butuh keimanan. Dulu, sebelum memeluk Islam, bisa dikatakan aku tak mendapatkan iman. Jiwaku serasa ada yang kosong, ada yang tak lengkap. Aku merasakan kehampaan. Aku merasakan, iman Islam inilah yang mengantarkanku pada sebuah kedamaian batin. Kesejukan iman Islam ini menyirami jiwaku. Dua tahun setelah pengalaman-pengalaman unik itu, aku baru bulat memasrahkan diri ke pangkuan Islam. Melalui proses yang berliku, kutemukanlah iman di dalam Islam.
Aku mengikrarkan keislamanku di sebuah masjid kecil di Jalan Kenari, di hadapan seorang ustadz, kenalan seorang teman. Saat kuucapkan dua kalimat syahadat, aku tak mengalami kesulitan. Selesai bersyahadat, hatiku lega. Hari-hari selanjutnya, semakin intens aku memperdalam Islam lewat buku karena aku tak sempat ke pengajian. Selain itu, aku juga belajar dari ibu pacarku yang memang seorang mubaligah di Solo.

Semula orangtuaku mengira aku masuk Islam lantaran pacarku. Waktu itu pacarku memang muslim. Tak lama kemudian aku putus dengan pacarku ini. Aku tak mau orangtuaku beranggapan aku masuk Islam karena orang lain, termasuk pacarku. Sekarang aku sudah mendapat ganti. Kupilih dia terutama karena ia rajin beribadah. Melihat dia salat, rasanya hati ini senang banget.

Aku bangga memilih dan dipilih menjadi muslimah. Apalagi, prosesku menuju Islam melewati hal-hal yang agak bertentangan dengan tabiatku yang serba rasional. Termasuk mimpi-mimpi. Itulah cara Tuhan mengingatkan hamba-Nya bahwa ada sesuatu yang tak cukup dipikirkan oleh akal semata. Aku bersyukur mengalaminya.

Sepotong Mimpi. O ya, sebelum masuk Islam, aku kerap bermimpi yang aneh-aneh, yang sulit kulupakan. Kok aku bermimpi bertemu, bersapa-sapa dengan ayah temanku yang sudah meninggal. Meski aku mengenal beliau dengan baik, menurutku ini agak aneh. Yang paling seram, aku bermimpi dicekik berkali-kali, sampai sesak nafas tanpa bisa berbuat apa-apa.

Gara-gara itu, tiga hari aku tak berani memicingkan mata. Kutemui teman-temanku yang muslim. Kutanya mereka tentang cara ampuh mengusir mimpi buruk. ?Surah apa yang kamu hafal?? tanya mereka, sambil menyebut beberapa nama surah dari Al-Quran. Kujawab, ?Kecuali Al-Fatihah, aku tidak hafal surat-surat itu.? Lantas mereka menyuruhku membaca Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Eh, mujarab. Aku nggak mimpi seperti itu lagi.

Suatu kali aku bermimpi didatangi banyak orang. Mereka minta bantuanku. Ingin sekali aku menolong mereka tapi tidak berdaya. Tahu-tahu, seperti ada yang menggerakanku untuk salat, hal yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Entah bagaimana, setelah salat, aku jadi mempunyai kekuatan menolong orang-orang malang tadi. Dan ada kelegaan sesudahnya. Mimpi itu begitu jelas, seperti kejadian nyata saja.

Lebih Tenang. Setelah memeluk Islam, temanku membantu mengetikkan bacaan-bacaan salat. Saat salat, kutempelkan tulisan yang sudah dilaminating itu di dinding. Agak lucu juga. Tapi aku kan masih belajar, dan salatnya di kamar, nggak ada yang melihat. Jadi nggak malu. Saat aku memeluk Islam, tanggapan keluarga dan teman-teman biasa saja. Lagi pula keluargaku sangat demokratis. Mula-mula mereka curiga. Ada apa dengan anak mereka? Kok

tindak-tanduknya tidak seperti biasanya? Setelah kuyakinkan bahwa aku sudah bulat dan tegas-tegas memilih Islam, mereka bisa menerima.

Sekarang, sesibuk apa pun aku selalu berusaha untuk tetap bisa menegakkan salat. Sebab, sekali saja kita meninggalkan salat, selanjutnya enak saja seolah tidak ada beban untuk meninggalkannya terus-menerus. Misalnya, waktu salat asar tiba, kita lagi syuting. Udah ah, tanggung, begitu pikir saya. Tapi kalau saya teruskan tidak salat,kita jadi enteng saja untuk juga meninggalkan salat magrib. Begitu kan?

Dulu aku sangat sensitif, cepat sakit hati, cepat marah, lantas ngambek. Tapi sejak masuk Islam, alhamdulillah aku mulai dapat mengendalikan emosi. Setiap kali aku tertimpa masalah, kusebut nama Allah, nama yang paling kuyakini.

Setelah itu perasaanku menjadi lebih tenang, lebih bisa berpikir jernih. Kuyakinkan pada diriku, setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Tuhan takkan memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Itu yang selalu aku pegang.

Ada harapanku yang belum terwujud setelah memeluk Islam. Sudah dua Ramadan ini sebenarnya aku ingin membuat tembang-tembang rohani. Ramadan lalu terpaksa urung lantaran aku terlalu sibuk syuting. Mudah-mudahan Ramadan tahun ini keinginan itu bisa terwujud. Lagu-lagunya sudah ada, tinggal mencari penyanyinya.

Buatku, Ramadan memang punya makna mendalam. Pada bulan Ramadan biasanya aku sahur bersama Umam, pacarku di luar rumah. Setelah itu kami salat subuh di masjid. Rasanya senang sekali melihat orang-orang sudah keluar pagi-pagi, lalu mengambil air wudu bersama-sama.

Tentang Si Akademisi Seni Itu

Paquita Widjaja lahir di Jakarta, 2 Juli 1970. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ibunya bernama Martina Widjaja (aktivis sosial), ayahnya Jhoni Widjaja. Bachelor of Fine Arts lulusan Parsons School of Design, New York, ini memilih Rancang Busana sebagai studi mayornya.

Semasa kuliah, ia sempat bekerja di Tira Fashion, Jakarta, sebagai perancang busana untuk produk H&R (1991-1992).

Sejak 1996 ia menjadi dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia mengajar pengetahuan dasar seni rupa, komposisi film, dan rancang judul untuk film pada Fakultas Film dan Televisi. Ia pun, sejak 1997, bekerja sebagai sekretaris Hubungan Luar Negeri dan sekretaris Festival Internasional pada CILECT-IKJ. CILECT adalah organisasi sekolah film internasional. Ada belasan item pada catatan filmografi/videografinya, antara lain: Bulan Tertusuk Ilalang (Garin
Nugroho), Saras 008 (sebagai tokoh antagonis), Kupu-Kupu Ungu: Melati Chandra (Nan T. Achnas).

Paquita juga pernah main untuk sebuah film produksi SNC & Doublevision, Malaysia, Agensi.

Dara yang aktif di Yayasan AIDS Indonesia ini pernah menyutradarai film Nyanyian Seorang Istri (GIZ Production) serta acara Bincang-Bincang Seputar Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN (Belalang Production) dan From Green to Brown (Dana Mitra Lingkungan).

Akademisi seni yang satu ini juga berkiprah dalam dunia musik. Tahun 1980 merilis Gadis Korek Api (Flower Sound), disusul setahun kemudian Kumbang Kecil (juga Flower Sound), dan tahun 1995 meluncurkan album Yang Perdana (Kita2 Production). Meski tak sampai meledak di pasaran, menurut para kritikus, lagu-lagunya memberi nuansa lain yang memperkaya blantika musik di Tanah Air.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...

Translate to Arabic Translate to Bahasa Indonesia Translate to Bulgarian Translate to Simplified Chinese Translate to Croatian Translate to English Translate to Czech Translate to Danish TTranslate to Dutch Translate to Finnish Translate to French Translate to German Translate to Greek Translate to Hindi Translate to Italian Translate to Japanese Translate to Korean Translate to Norwegian Translate to Polish Translate to Portuguese Translate to Romanian Translate to Russian Translate to Spanish Translate to Swedish Translate to Slovak Translate to Serbian Translate to Thai Translate to Turkey Translate to Filipino Translate to Filipino