Kalau pada suatu saat kita mengadakan perenungan terhadap alam semesta, memperhatikan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan, semuanya merupakan pelajaran yang amat berharga bagi kita sebagai manusia yang mempergunakan akalnya. Pada awal bulan maulid misalnya, atau bulan-bulan hijriah yang lain, sore hari setelah maghrib kita melihat bulan sabit kecil nampak di ufuk sebelah barat.
Cahaya bulan itu redup, melengkung bagaikan tandan yang tua, hari-hari berikutnya bulan itu semakin membesar dan cahanya semakin benarang. Pada tanggal lima belasnya, bulan itu terbit di sebelah timur, persis waktu maghrib ia menampakkan dirinya bulat utuh dengan sinarnya yang amat cemerlang menghalau kegelapan malam, orang menyebut bulan pada tanggal itu dengan “bulan purnama”.
Esok harinya tanggal enam belas, tujuh belas dan seterusnya, purnama yang indah itu sedikit demi sedikit semakin mengecil dan cahanya semakin redup kembali. Pada tanggal dua puluh tujuh, ia tampak bagaikan sabit kembali sebagaimana pada tanggal-tanggal permulaan, kemudian ia menghilang dari pandangan dan pengamatan mata kita.
Peristiwa perkembangan dan perubahan itu sebenarnya adalah merupakan perumpamaan bagi kita umat manusia. Kita semua dulunya tidak ada, kemudian dengan perantaraan ayah dan ibu, mulai timbul benih berupa embrio dalam rahim. Embrio itu pada permulaannya terjadinya amat kecil, tak dapat dilihat kemudian berkembang, lahir, beranjak memasuki masa balita dan seterusnya menjadi manusia dewasa.
“Maka seteleh dicampuri, istrinya menjadi hamil dengan kandungan yang ringan, terus merasa ringan sampai waktu tertentu. Kemudian tatkala ia merasa berat, suami istri itu berdo’a kepada Allah, seraya berkata : “Jika Engkau karuniakan kepada kami seorang anak yang shalih, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Q.S. al-A’Raf : 189).
Setelah manusia mencapai dewasa melalui perjalanan panjangnya, ia pun mencapai usia purnama, sekitar tiga puluh tahun. Setelah mencapai usia purnama, manusiapun sebagaimana bulan mengalami surut kembali. Tahun demi tahun semakin surut, cahaya diwajahnya semakin pudar, kesehatannya semakin terganggu, kekuatannya semakin berkurang, kulitnya semakin keriput, rambutnya mulai beruban, satu demi satu sampai memasuki usia empat puluh tahun.
Usia empat puluh merupakan usia yang tergolong gawat, ia merupakan tikungan tajam yang banyak mencelakakan manusia jika tidak berhati-hati. Dalam usia itu banyak orang yang tadinya baik terpeleset, yang mulanya tidak baik menjadi baik, adapula yang baik dari mulanya dan selamat sukses melewati usia itu. Demikian pentingnya kita harus memperhatikan usia tersebut, sehingga al-Qur’an menyebutkannya secara gamblang.
“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Sehingga apa bila ia telah dewasa dan usianya memasuki empat puluh tahun ia berdo’a : “Wahai Tuhanku arahkanlah aku agar mensyukuri nikmat-Mu yang teleh Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat beramal shalih yang Kau ridhai. Berikanlah kebaikan kepadaku dan keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (Q.S. al-Ahqaf : 15).
Ayat tersebut mengarahkan kita agar memperhatikan usia dewasa yang dilanjutkan dengan usia empat puluh tahun dan seterusnya. Usia tersebut merupakan persimpangan jalan yang sering membingungkan. Langkah-langkah yang terpuji untuk mneghadapi hal tersebut, sebagaimana yang disebutkan ayat di atas adalah :
- Memperbanyak Syukur kepada Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya yang dilimpahkan kepada kita dan orang tua kita.
- Memperbanyak amal saleh dalam berbagai segi kehidupan dan berbagai aktivitas.
- Membentuk generasi penerus yang bertaqwa.
- Memperbanyak taubat kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan yang kita lakukan.
- Meningkatkan tawakkal kita kepada Allah SWT dan ketaatan kepada-Nya.
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...