Senin, 02 Juni 2008

PENGEMBANGAN ILMU EKONOMI ALTERNATIF

Para ekonomi seperti Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (terj. 1999) dan Ervin Laszio dalam 3rd Milinium, Tehe Challenge and The Vision (terj. 1999) banyak mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali nilai-nilai dan moralitas. Menurut mereka, kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi ummat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat miskin dengan negara-negara dan masyarakat kaya. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain, kecuali mengubah paradigma dan visi yaitu melakukan satu titik balik peradaban (M. Yasir Nasution, 2002), dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa dipertanggungjawabkan.

Para ekonom Muslim sendiri, seperti M. Umer Chapra, Khursid Ahmad, Muhammad Nejatullah Shiddiqi, dan yang lainnya, sesungguhnya telah berusaha lama untuk keluar dari kondisi ini dengan mengajukan gagasan-gagasan ekonomi alternatif yang berlandaskan pada ajaran agama (Islam) untuk kemudian setelah dibangun kerangka dasarnya, lalu direalisasikan di dalam institusi ekonomi praktis. Sistem ekonomi alternatif ini sering disebut sebagai sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi Syari'ah. Yang menarik adalah institusi ekonomi berlandaskan syari'ah ini ternyata telah memberikan harapan-harapan yang cukup menggembirakan, karena mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi. Bank Syari'ah, Asuransi Syari'ah, dan Lembaga Keuangan Syari'ah lainnya kini tumbuh dan berkembang dengan pesat.

Harus diakui bahwa ketika pemikiran dan konsep tentang ekonomi syari'ah ini diperkenalkan, kemudian diimplementasikan dalam berbagai institusi tersebut, sebagian dari kaum muslimin banyak yang ragu dan tidak percaya, bahwa ajaran Islam berkaitan dengan dunia ekonomi, dunia perbankan, pasar uang, asuransi dan lain sebagainya. Sikap yang semacam ini mungkin diakibatkan antara lain oleh pandangan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang bersifat individual dan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Padahal ajaran Islam adalah ajaran yang bersifat komperehensif dan universal, berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia (QS. Al-Baqarah [2]: 208) dan dalam bidang mu'amalah, kaidah-kaidahnya berlaku bagi siapapun (muslim maupun non muslim). Misalnya dalam kaidah perdagangan, diperlakukannya sama dan adil pada semua orang atau pihak yang melakukan kegiatan tersebut.

Akan tetapi karena perkembangan ekonomi Islam ini cukup pesat dan bersifat unik, dan karena lembaga-lembaganya juga kompetitif dengan lembaga konvensional yang sejenis, para ilmuan dan pemerhati masalah-masalah sosial ekonomi masyarakat, baik muslim maupun non muslim tertarik untuk melakukan kajian-kajian serius terhadapnya. Yang non muslim antara lain Florence Eid, salah seorang konsultan Bank Dunia, Toshikary Hayashi dari International University of Japan, Rodeney Wilson, dan J.R. Presly. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa ekonomi Islam merupakan solusi bagi persoalan ekonomi saat ini maupun di masa mendatang (M. Yasir Nasution, 2002) karena mengandung nilai dan filsafat yang sejalan dengan kebutuhan hidup manusia, tanpa membedakan ras, suku, dan bangsa maupun agama.

Ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan, sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari, kehidupan manusia sehari-hari didominasi kegiatan ekonomi. Dalam bahasa Arab, ekonomi sering diterjemahkan dengan Al-Iqtishad, yang berarti hemat, dengan perhitungan, juga mengundang makna rasional dan nilai secara implicit. Ekonomi Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan petunjuk Allah s.w.t. untuk memperoleh ridha-Nya. Petunjuk Allah s.w.t. tentang hal itu sudah ada sejak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Akan tetapi, sebagai kajian yang berdiri sendiri dengan menggunakan ilmu-ilmu modern, terlepas dari ilmu fiqh, baru dimulai sekitar tahun 1970-an. Menurut ahli ekonomi Islam, ada tiga karakteristik yang melakat pada ekonomi Islam yaitu :

  • Inspirasi dan petunjuknya diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
  • Perspektifdan pandangan-pandangan ekonominya mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber.
  • Bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai, prioritas dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal (M. Yasir Nasution, 2002).

Dari informasi singkat ini, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan ekonomi konvensional (sebutan yang lazim digunakan untuk ekonomi sekuler). Perbedaan yang mendasar adalah pada landasan filosofinya dan asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi Islam dibangun atas empat landasan filosifis yaitu: tauhid, keadilan, (keseimbangan), kebebasan dan pertanggungjawaban. (Adiwarman Karim, 2001). Tauhid dalam hal ini berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah s.w.t. dan hanya Dia yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan internal, perolehan rizki, dan lain sebagainya (rububiyyah). Oleh sebab itu manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah s.w.t. dalam segala aktifitasnya, termasuk aktifitas ekonomi. Ketentuan Allah s.w.t. yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, akan tetapi juga bersifat etis dan moral (uluhiyyah).

Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam banyak ayat suci al-Qur’an sebagai dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara intrinsic membawa keadilan dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam misalnya, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini tampak pada praktek Mudharabah (Lost and profit sharing) dimana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada posisi yang sejajar dan adil. Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktifitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan ketentuan Tuhan yang melarangnya. Ini menunjukkan bahwa inova si dan kreatifitas dalam ekonomi adalah suatu keharusan. Pertanggungjawaban memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala putusannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan memilih berbagai alternatif yang ada dihadapannya. Pada gilirannya ia harus bertanggungjawab kepada Allah s.w.t. (M. Yasir Nasution, 2002).

Keempat landasan filosofis ini selanjutnya membawa perbedaan-perbedaan lainnya pada asumsi dan hal-hal yang bersifat teknis. Dari landasan tauhid misalnya, asumsi tentang manusia akan berbeda dengan asumsi ekonomi konvensional. Manusia dipandang sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang, manusia akan merasa senang memberi bantuan kepada orang lain (altruisme). Karena itu kebijakan ekonomi dan teknis operasional lembaga ekonomi seharusnya merangsang orang untuk menumbuhkan fitrah kebaikannya itu. Konsep fitrah akan melahirkan contributive (ta'awun dan takaful) menggantikan sikap exploitative. Tampak bahwa hal yang paling menjadi perhatian para ahli ekonomi Islam adalah pada dimensi filosofis dan nilai. Bertolak pada dimensi filosofis dan nilai Islam, mereka mencoba untuk merumuskan dimensi-dimensi teori dan teknis. Konsep kebutuhan dasar dan arah pembangunan misalnya, mereka rumuskan berdasarkan maqasid al-yari'ah (tujuan-tujuan syari'at Islam) yang ditulis oleh al-Syathibi dan juga al-Ghazali dengan tetap meminjam instrument pengukuran dan pengujian ilmu ekonomi konvensional. Demikan juga halnya dengan sistem moneter.

Satu hal yang menarik dari proses pembentukan ekonomi Islam, cara yang ditempuh adalah pendekatan ilmiah, melalui penelitian-penelitian baik penelitian pada sumber-sumber ajaran Islam, sunnah Nabi dan para sahabat , khasanah pemikiran ekonomi para ilmuan terdahulu, maupun penelitian empiric terhadap kondisi dan perilaku ekonomi masyarakat Islam. Penelitian-penelitian itu dilakukan secara terbuka, dipertanggungjawabkan secara ilmiah di forum-forum asosiasi ekonomi yang dihadiri tidak saja oleh ilmuan ekonomi syari'ah, akan tetapi juga ilmuan ekonomi lain sesuai dengan bidang minat keilmuannya. Puncak acara keilmuan dalam kurun waktu empat tahun sekali dilakukan konferensi internasional memperbincangkan hasil-hasil penelitian dan pengujian teori-teori yang telah ditemukan. Sebagai salah satu proses pengjian ilmiah, sama sekali tidak ada kesan ekslusifisme di dalamnya (M. Yasir Nasution, 2002).

Meneladani Rasulullah s.a.w. dalam membangun masyarakat sejahtera

Masyarakat sejahtera lahiriah-bathiniah, fisik materil dan mental spiritual telah berhasil dibangun oleh Rasulullah s.a.w.. dalam waktu kurang lebih 23 tahun. Masyarakat yang dilandasi keimanan dan dibingkai oleh ketakwaan kepada Allah s.w.t., sebagaimana digambarkan dalam QS. Al-A'raf [7] ayat 96: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."

Adapun ciri-ciri masyarakat sejahtera itu, antara lain adalah sebagai berikut:

  • Meluruskan akidah dan membersihkannya dari berbagai perilaku syirik. Iman yang benar dan kuat akan melahirkan kesadaran yang tinggi untuk beribadah kepada-Nya (QS. An-Nur [24]: 51) Dan memberikan kemanfaatan kepada masyarakatnya (hadits). Aqidah yang benar akan melahirkan ketenangan dalam hidup, karena kehidupan dihiasi dengan syukur ketika mendapatkan berbagai nikmat dan sabar manakala mendapatkan berbagai kesulitan, musibah dan tantangan (QS. Al-Baqarah [2]: 152 dan 177). Aqidah yang rusak yang penuh dengan syirik akan melahirkan kegelisahan dankegoncangan dalam hidup. Perhatikan QS. Al-Hajj [22] ayat 31: "Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ketempat yang jauh."

  • Berusaha beribadah yang benar sesuai dengan syariat Islam, sambil berusaha pula menghayati hikmah, kandungan dan manfaatnya. Ibadah shaum misalnya, adalah ibadah yang mengandung berbagai hikmah dan manfaat, seperti : belajar mengendalikan diri (dalam segala hal), latihan keikhlasan dalam beramal, latihan merasakan kehadiran Allah s.w.t. sebagai Zat yang Maha Mengetahui segala amal perbuatan, latihan menumbuhkan kasih sayang kepada kaum dhuafa (golongan yang lemah) dan latihan menumbuhkan kesadaran ukhuwah dan berjamaah. Ibadah zakat, membuktikan rasa syukur kepada Allah s.w.t., membersihkan dan mensucikan serta mengembangkan harta, sumber dana pembangunan umat, menghilangkan kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin, dsb.
  • Terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan secara wajar dan layak.
  • Tegaknya hukum secara adil, tanpa ada diskriminasi karena keluarga, suku, dsb.

Keberhasilan membangun masyarakat sejahtera tersebut karena dilakukan berdasarkan langkah-langkah yang jelas dan gamblang dan dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Firman Allah s.w.t. dalam QS. At-Tahrim [66] ayat 6: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."

Contoh-contoh konkret beliau kemukakan secara langsung. Misalnya dalam hal penegakan hukum terhadap seorang wanita pencuri dari kalangan elit Bani Makhzumiyyah yang menganalogikan dengan puterinya sendiri yang bernama Fatimah. Beliau juga berhasil dalam membangun sistem sosial kemasyarakatan yang solid, dengan mengasaskan pada persamaan dan persaudaraan (QS. Al-Hujurat [49]: 13 dan QS. Al-Mumtahanah [59]: 8-9), saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran (QS. Al-'Ashr [103]: 3), menumbuhkan etos kerja yang tinggi dan menjauhkan diri dari sifat malas, israf, bakhil, dan sifat buruk lainnya.

Wallahu ‘Alam bi Ash-Shawab.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...

Translate to Arabic Translate to Bahasa Indonesia Translate to Bulgarian Translate to Simplified Chinese Translate to Croatian Translate to English Translate to Czech Translate to Danish TTranslate to Dutch Translate to Finnish Translate to French Translate to German Translate to Greek Translate to Hindi Translate to Italian Translate to Japanese Translate to Korean Translate to Norwegian Translate to Polish Translate to Portuguese Translate to Romanian Translate to Russian Translate to Spanish Translate to Swedish Translate to Slovak Translate to Serbian Translate to Thai Translate to Turkey Translate to Filipino Translate to Filipino