Allah s.w.t. berfirman:
Ulama besar dalam bidang tafsir kenamaan dari Iran, al-Thabathaba’i, menarik kesimpulan dari ayat tersebut sebagai berikut. Allah swt menghendaki keimanan bukan sekedar mengucapkan, “Kami telah beriman kepada Allah”, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah hakikat iman yang tercermin pada keteguhan menghadapi gelombang fitnah dan penganiayaan, tidak tergoyah oleh perubahan keadaan dan situasi, tetapi terus menerus teguh bertahan kendati penganiayaan datang silih berganti. Ini karena manusia tidak akan dibiarkan mengucapkan “Kami telah beriman”, tanpa diuji untuk diketahui hakikat iman yang bersemai dalam hati mereka. Fitnah yakni penganiayaan adalah ujian dan godaan yang sudah menjadi sunnatullah bagi setiap manusia dari zaman ke zaman. Dengan ujian inilah, dapat diketahui siapa di antara mereka yang berhasil dan siapa di antara mereka yang gagal. (Quraish Shihab, 2004:)
Dari ayat tersebut kita bisa mengukur kualitas keimanan seseorang. Semakin tinggi frekuensi ujian dan kesabaran dalam menerimanya, maka tingkat keimanannya pun tinggi. Sebaliknya semakin rendahnya kesabaran seseorang ketika menerima ujian, maka kualitas keimanannya pun semakin rendah.
Cobaan dan ujian yang dialami manusia terdiri dari berbagai macam bentuk dan jenisnya. Adakalanya berupa fitnah, cerca dan nista, ada yang berupa kesulitan dalam kehidupan dan ekonomi sehingga ditimpa kemiskinan yang dahsyat, ada pula ujian berupa kedudukan yang tinggi, kehidupan dan ekonomi yang sangat mapan dan kesempatan-kesempatan yang menggiurkan dalam kemewahan duniawi.
Dari segala macam bentuk ujian dan cobaan sebagaimana disebutkan diatas, secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua bagian. Dua bagian itu adalah ujian yang dirasakan menyenangkan, seperti kedudukan yang tinggi, kekayaan, dan kemewahan duniawi, dan ujian yang dirasakan sangat menyedihkan, seperti kemiskinan, keterpurukan dalam kedudukan, atau jabatan, dan kesulitan-kesulitan untuk meraih kesempatan dalam kemewahan duniawi.
Dari dua macam ujian tersebut, baik yang menyenangkan ataupun yang mnyedihkan selalu dihadapai oleh setiap orang. Mereka yang memperoleh kesuksesan atau lulus dengan sangat baik, adalah mereka yang apabila diuji dengan sesuatu yang menyenangkan, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah swt. Apabila mereka diuji dengan sesuatu yang menyedihkan, mereka bersikap sabar dengan ketulusan yang tinggi.
Sebaliknya mereka yang gagal dalam ujian tersebut, adalah mereka yang apabila dicoba dengan karunia dan sesuatu yang menyenangkan mereka tidak pernah bersyukur, tetapi terus merasa kurang. Mereka tidak pernah puas dan senantiasa bersikap rakus terhadap kemewahan duniawi yang menggiurkan secara lahiriah. Termasuk mereka yang gagal dalam ujian itu adalah mereka yang dicoba dengan kesusahan, kesulitan, dan kesedihan, mereka tidak bersikap tabah dan sabar. Sebaliknya mereka bersikap mengeluh, mencaci maki orang lain, dan mencerca dirinya sendiri. Muslim yang baik adalah mereka yang apabila diuji dengan kenikmatan, mereka bersyukur dan apabila diuji dengan musibah, mereka selalu bersikap tulus dan bersabar.
Kesabaran di sini bukan berarti menerima apa adanya terhadap segala sesuatu yang mereka dapati dalam kehidupan. Kesabaran sesungguhnya merupakan upaya maksimal seseorang untuk memperoleh nasib yang lebih baik seraya memohon pertolongan Allah swt. Setelah itu, apa yang dihasilkan dari upayanya tersebut, ia bertawakkal (berserah diri) kepada Allah swt dan merasa puas (qana’ah) atas segala pemberian-Nya.
Jerih payah untuk menghasilkan kesejahteraan dan keselamatan dalam mengarungi kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan urgensi pendidikan karena pendidikan mengantarkan seseorang untuk memiliki ilmu yang bermanfaat. Pendidikan merupakan faktor utama yang akan menghantarkan seseorang pada derajat yang tinggi dalam hidupnya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt,
“Niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan (dengan) beberapa derajat...” (QS. Al-Mujadilah [58]:11)
Ayat tersebut mengaitkan antara iman dan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang erat demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akherat. Sebab ada di antara kita, orang yang berilmu tetapi tidak beriman. Orang seperti ini, ilmunya akan mengarah pada dekadensi moral, materialistik, budaya korupsi, dan nilai-nilai amoral lainnya. Dengan demikian, ilmu tanpa iman hanya akan mencapai ‘derajat’ dunia saja, di akherat kelak, ia akan celaka.
Pendidikan yang Bermoral
Dalam sebuah hadis shahih riwayat Al-Bukhari, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidak datang suatu kaum (generasi) kecuali mereka lebih buruk dari generasi sebelumnya.” Hadis ini tidak bisa dipahami secara leteral atau leksikal begitu saja. Banyak para ilmuwan yang mampu menemukan beberapa peralatan teknologi canggih yang belum ditemukan oleh para pendahulunya. Sendi-sendi kehidupan semakin hari semakin maju dan modern. Dan tentu saja, hal ini merupakan bukti prestasi yang membanggakan dan bermanfaat bagi umat manusia di seantero dunia.
Oleh karena itu, hadis di atas akan lebih tepat dipahami bahwa semakin hari, kadar akhlak atau moralitas umat manusia semakin menurun. Hal ini ditandai dengan banyaknya perilaku kejahatan dan tindakan amoral serta asusila dewasa ini yang belum pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Yang dahulu dianggap tabu, tetapi sekarang menjadi blak-blakan. Pendek kata, rasa malu pada manusia sekarang sudah semakin tipis dan memudar.
Pendidikan memang penting. Tetapi menanamkan nilai-nilai pendidikan jauh lebih penting. Di sinilah perlu keteladanan dari seorang pendidik pada anak-anak didiknya. Seorang anak akan lebih memilih orang tuanya sebagai figur pertama yang mewarnai keseharian hidupnya. Setelah itu teman, lingkungan, dan para gurunya di sekolah.
Bahkan tidak bisa dipungkiri, media massa, baik cetak maupun elektronik, ikut andil dalam membentuk watak dan perilaku seseorang. Tontonan dan bacaan akan secara langsung diserap oleh masyarakat, tanpa ada batas yang menyekatnya. Oleh karena itu, peran pendidik, baik guru maupun orang tua sangat signifikan dalam mengarahkan mereka untuk memilah dan memilih setiap informasi yang diperolehnya. Dengan demikian, nilai-nilai negatif yang ada di media massa dan lingkungan sekitar akan dijauhi oleh mereka. Inilah pendidikan yang bermoral.
Dari uraian di atas, penulis menemukan adanya hubungan yang kuat antara iman, pendidikan, dan ujian untuk mencapai kebahagiaan. Seseorang yang beriman dan berilmu pengetahuan akan sukses jika melewati tangga-tangga ujian dengan penuh kesabaran dan ketawakkalan.
Ujian bisa berupa kemiskinan maupun kekayaan. Ujian pun bisa berupa pangkat dan ilmu pengetahuan. Banyak orang yang lulus diuji dengan kefakiran dan kemiskinan. Tetapi hanya sedikit orang yang lulus diuji dengan kekayaan dan kesejahteraan. Ketika miskin dan susah atau ditimpa bencana, hatinya dekat kepada Sang Pencipta. Tetapi ketika kaya dan bahagia, ia terlena dan melupakan Allah yang telah memberikan anugerah kepadanya. Bahkan lebih parah lagi, kebanyakan manusia tidak bisa bersyukur atas karunia-Nya. Ketika ditimpa musibah, mereka berkeluh kesah, dan ketika kaya, mereka kikir untuk menafkahkan sebagian rizki yang diamanatkan-Nya. Allah s.w.t. berfirman:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij [70]:19-21)
Oleh karena itu, siapa saja di antara mereka, orang beriman dan berilmu, yang lulus dari ujian tersebut, maka Allah s.w.t. akan meninggikan derajatnya. Sebaliknya, orang yang tidak lulus menerima ujian-Nya, ia akan dicampakkan oleh-Nya pada derajat yang rendah. Naudzu billah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...