Menjelang diperolehnya kenikmatan dan karunia yang agung dengan peristiwa Isra Mi’raj, Nabi Muhammad SAW mengalami tahun dukacita yang menyesakkan dada dan menggundahkan kalbu. Peristiwa dukacita itu adalah wafatnya dua orang yang sangat dicintai dan dikasihi. Pertama peristiwa wafatnya Abu Thalib, seorang paman Nabi, yang memeliharanya sejak kecil, sejak beliau berusia 8 tahun. Paman yang senantiasa melindungi dirinya dari berbagai tindakan jahat kaum musyrik Quraisy.
Selama Abu Thalib masih hidup, orang-orang musyrik tidak pernah berani menyakiti Nabi SAW secara berlebihan. Nabi menyatakan : “Orang-orang Quraisy tidak menggangguku yang menyakitkan, sampai tibanya akhir hayat pamanku Abu Thalib” (Khalid Muh. Khalid, hal, 95). Dalam berbagai kegiatan yang dilakukan Nabi untuk berda’wah menyampaikan kebenaran, senantiasa mendapat perlindungan dari paman yang amat dicintainya itu. Abu Thalib adalah seorang pemimpin Quraisy yang amat disegani, serta memiliki karisma yang kuat yang berpengaruh langsung terhadap seluruh lapisan masyarakatnya.
Peristiwa kedua, terjadi tidak begitu lama setelah wafatnya Abu Thalib, yaitu wafatnya istri tercinta, Sayyidah Khadijah al-Qubra. Satu-satunya istri Nabi yang mendampingi perjalanan panjangnya dalam suka dan duka, sejak Nabi berusia 25 tahun. Sayyidah Khadijah adalah istri yang sangat setia, ia mengorbankan segala apa yang dimilikinya bagi kejayaan Nabi dan agamanya. Khadijah al-Qubra memiliki andil yang sangat besar dalam mengantarkan Rasul SAW dan agamanya kegerbang kesuksesan dan kejayaan. Betapa agungnya kasih sayang Nabi terhadap istrinya sehingga beliau mengatakan : “Allah tidak menggantikan bagiku seorang istri seperti Khadijah. Ia orang yang pertama kali beriman, ketika semua orang mendustakan agamaku. Ia seorang yang paling mengasihi dan mencintaiku, ketika orang-orang membenciku. Ia pula yang mengorbankan segala apa yang dimilikinya demi kebesaran agamaku”.
Peristiwa wafatnya dua orang yang amat dicintai Nabi akhir zaman itu, menandai terjadinya permulaan dari “tahun dukacita”. Tahun kesedihan dan kesengsaraan yang dirasakan Nabi, keluarga dan para sahabatnya yang sangat setia. Sebaliknya orang-orang kafir Quraisy bagaikan mendapat angin, mereka bisa bertindak seenaknya kepada Nabi SAW, karena dua orang yang melindunginya telah tiada. Hinaan, cemoohan dan cercaan silih berganti mereka timpakan kepada Nabi yang mulia itu, hari demi hari. Tiada hari yang berlalu tanpa hinaan dan cercaan dari kaum musyrik Quraisy.
Hasutan jahil dan bersikap biadab mereka lakukan kepada Nabi SAW sampai pada perbuatan yang sangat keji sekalipun. Orang-orang Quraisy tidak segan-segan melemparkan tanah atau kotoran pada kepala Nabi, ketika Nabi berjalan atau ketika ia sujud melakukan shalat. Fathimah, putri Nabi lalu membersihkan kepala ayahnya, ia membersihkannya sambil menangis, berlinang air mata. Tak ada yang lebih duka rasanya dalam kalbu seorang ayah daripada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak perempuan yang baru saja ditinggalkan ibunya.
Rasul Muhammad SAW adalah seorang ayah yang sangat bijaksana dan penuh kasih kepada anak-anaknya. Yang kita lihat dari reaksi beliau terhadap tangisan anak perempuannya, yang merasa sedih dan duka karena malapetaka yang menimpa ayahnya. Peristiwa yang mengharukan itu beliau hadapi dengan kesabaran dan berlapang dada. Semuanya dikembalikan kepada Allah dengan penuh iman dan taqwa. Ia berkata kepada putrinya : “Jangan menangis anakku sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu”. (Hayatu Muhammad, 186).
Ketika tekanan dan penghinaan orang-orang Quraisy terhadap Rasul semakin gencar terlintas olehnya untuk melakukan perjalanan Thaif, berda’wah kepada penduduk negeri itu. Rasul menaruh harapan semoga kaum Tsaqif yang menduduki wilayah Thaif yang amat subur dengan udara sejuk itu mau menerima agama Allah SWT.
Penduduk Thaif ternyata amat bengis, mereka menolak kedatangan Nabi SAW, da’wahnya mereka tolak dengan kasar. Demikian kasarnya sikap mereka kepada Nabi, sehingga mereka menghianati kebiasaan bangsa Arab, yang selalu menghormati tamunya. Orang-orang Thaif mengusir Nabi dengan kasar, bahkan dilempari dengan batu. Nabi segera menghindari mereka, berlindung dibawah pohon anggur milik Uthbah dan Syaibah. Di tempat itu beliau menengadah ke langit, hanyut dalam suatu do’a pengaduan yang sangat mengharukan.
“Wahai Allah Tuhanku, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku dihadapan sesama manusia. Wahai Allah Yang Maha Kasih dari segala kasih, Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku. Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak perduli semua itu. Kesehatan dan karunia-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. Tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu”.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar ya...