Senin, 12 Mei 2008

KITAB TAUBAT III

Pada dasarnya manusia itu tidak pernah merasa puas terhadap karunia yang diperolehnya dari Allah SWT, dan kurang mensyukurinya, kecuali mereka yang telah memperoleh bimbingan agama dengan baik. Kita melihat dalam kehidupan sehari-hari, betapa banyaknya orang yang awal mulanya tidak memiliki apa-apa, bahkan rumahpun masih menumpang pada tempat tinggal orang lain, dalam keadaan seperti itu ia ingin memiliki kemampuan untuk mengontrak rumah. Setelah ia mampu mengontrak rumah ia ingin memiliki rumah sendiri, karena dengan megontrak terasa dikejar-kerjar oleh waktu dan tagihan pemilik rumah. Setelah orang itu memiliki rumah sendiri, ia ingin memiliki dua rumah, tiga rumah dan seterusnya. Demikian juga orang yang menginginkan memiliki kendaraan, perhiasan, dan kekayaan lain, selalu merasa kurang, tidak pernah merasa puas. Mengenai hal ini Rasulullah Muhammad SAW mengisyaratkan dalam salah satu sabdanya :

“Dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik ra; Rasulullah SAW bersabda : Seandainya manusia itu memiliki satu lembah dari emas, niscaya ia menginginkan mempunyai dua lembah, dan tidak ada yang dapat memenuhi mulutnya kecuali debu (manusia tidak akan merasa puas terhadap kekayaan dunia sebelum ia meninggal). Dan Allah senantiasa akan menerima taubat bagi siapapun yang mau bertaubat”. (H.R. Bukhari & Muslim).

Dalam hadits ini ditegaskan betapa tingginya sikap serakah yang dimiliki manusia terhadap kekayaan duniawi, sehingga ia tidak pernah merasa puas sampai ia meninggalkan dunia ini. Namun demikian, Allah SWT akan senantiasa menerima taubat, bagi setiap hambanya yang punya keinginan untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Dengan demikian, pintu taubat tetap terbuka selebar-lebarnya, bagi setiap diri manusia sebelum ia meninggal dunia.

Dalam hadits yang diriwayatkan Abi Hurairah dengan ungkapan yang bersifat metaporis (kiasan) ditegaskan, bahwa Allah SWT tertawa terhadap dua orang yang salah satunya membunuh yang lainnya, tetapi keduanya masuk syurga. Lengkapnya hadits itu diungkapkan sebagai berikut :

“Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Allah SWT tertawa terhadap dua orang yang saling bunuh membunuh tetapi keduanya masuk syurga. Yaitu seorang yang berjuang di jalan Allah kemudian gugur; kemudian yang membunuh orang itu bertaubat kepada Allah lantas masuk Islam kemudian terbunuh kembali dalam berjuang (mati syahid). (H.R. Bukhari & Muslim).

Hadits ini juga menjelasan betapa Maha Murah dan Maha Kasihnya Allah SWT dalam menerima hambanya yang bertaubat. Sehingga ketika seorang kafir membunuh seorang muslim dalam peperangan di jalan Allah, maka orang muslim itu wafat sebagai syuhada dan masuk syurga. Kemudian orang kafir itu bertaubat dan masuk Islam kemudian dia berjuang dalam peperangan di jalan Allah sehingga iapun gugur dan wafat sebagai syuhada, maka iapun masuk syurga. Dengan demikian si pembunuh dan yang dibunuh kedua-duanya masuk syurga.

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka dengan sangat mudah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sungguh amat beruntung dan berbahagia orang yang terus mendekatkan diri kepada Allah, kembali kepada-Nya, beraubat dan memohon ampunan atas segala dosa dan kekhilafan. Abu Hafs al-Haddad mengatakan, “Aku meninggalkan suatu perbuatan yang tercela, lalu kembali kepada-Nya. Kemudian perbuatan itu meninggalkanku, dan sesudah itu aku tidak kembali melakukan perbuatan tercela tersebut”.

Abu Amr bin Nujaid, pada awal perjalanan spiritualnya, sering kali mengunjungi majilis Abu Utsman. Tausiah Abu Utsman amat berkesan dalam hatinya, sehingga mengantarkannya untuk bertaubat. Selanjutnya ia mendapat cobaan, kemudian meninggalkan Abu Utsman dan mengundurkan diri dari majlisnya. Pada suatu saat, ketika Abu Utsman berpapasan dengannya, Abu Amr segera membuang muka dan mengambil jalan lain. Abu Utsman mengikutinya berjalan di belakang Abu Amr, seraya berkata : “Wahai anakku, janganlah kamu menjadi teman orang yang tidak mencintaimu, kecuali ia seorang yang bersih dari dosa. Hanya Abu Utsman yang mau membantumu dalam keadaanmu seperti sekarang ini”. Selanjutnya Abu Amr bertaubat dan kembali menjadi muridnya yang setia.

Syeikh Abu Ali al-Daqqaq ra. mengatakan, seorang muridnya bertaubat kemudian menerima cobaan, ia bertanya dalam hati, apabila aku bertaubat bagaimanakah balasan atas diriku nanti? Maka terdengarlah bisikan dalam jiwanya : “Hai Fulan, engkau taat kepada Kami lalu Kami terima syukurmu, kemudian engkau tinggalkan Kami maka Kami biarkan saja dirimu. Bila engkau kembali pada kami, pasti Kami akan menerimamu kembali”. Akhirnya murid itupun bertaubat, kembali pada cita-cita semula.

Apabila seseorang meninggalkan perbuatan maksiat dan melepaskan diri dari ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak kembali pada perbuatan tercela, maka pada saat itulah taubat sejati menyelusup ke dalam lubuk hatinya. Ia menenyesali terhadap segala kekhilafan yang telah dilakukannya, menjauhi tindakan-tindakan tercela, sehingga taubatnya sempurna, mujahadahnya sungguh-sungguh dan diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari orang-orang yang tidak baik dengan berkhalwat, ia bekerja sepanjang siang dan malam dalam keadaan sengsara, bertaubat dalam segala situasi, menghapus jejak-jejak dosanya dengan linangan air mata, dan mengobati luka hati dengan taubatnya. Ia dikenal diantara teman sejawatnya sebagai orang yang agak aneh, namun sikap dan prilakunya memberikan kesaksian mengenai kebenaran dan ketulusannya.

Tahapan awal dari taubatnya seseorang adalah menghadapi iri hati para musuhnya dengan sabar dan tabah, dengan harapan bahwa yang dimilikinya cukup untuk memenuhi hak-hak mereka, atau bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan pernyataan yang berkenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya. Apabila harapannya tidak terpenuhi, ia harus tabah menerima pernyataan-pernyataan mereka dan kembali pada Allah SWT dengan penuh kejujuran. Tindakannya dilakukan dengan menyertakan do’a untuk kebaikan orang-orang yang membencinya. Abu Ali al-Daqqaq membagi taubat menjadi tiga tingkatan, tahap awal adalah taubat (taubah), tahap kedua adalah kembali (inabah) dan tingkatan ketiga adalah aubah. Ia menempatkan taubah di awal, aubah di akhir dan inabah diantara keduanya.

Barang siapa yang bertaubat karena takut akan siksa, ia tergolong orang yang taubah. Siapa yang bertaubat karena ingin memperoleh pahala, berarti ia berada dalam inabah. Dan siapa yang bertaubat karena mentaati perintah Allah, bukan karena ingin memperoleh pahala atau karena takut pada hukuman, berarti ia berada dalam keadaan aubah. Taubat adalah ciri orang-orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan firman Allah : “Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman”. (Q.S. al-Nur : 31). Inabah adalah sifat para wali dan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT : “Ia adalah sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya)”. (Q.S. Shaad : 30). Sedangkan Aubah adalah sifat yang dimiliki para Nabi dan Rasul sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya : “Sebaik-baik hamba, sesungguhnya ia amatlah taat kepada-Nya (Tuhan)”. (Q.S. Shaad : 44).

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar ya...

Translate to Arabic Translate to Bahasa Indonesia Translate to Bulgarian Translate to Simplified Chinese Translate to Croatian Translate to English Translate to Czech Translate to Danish TTranslate to Dutch Translate to Finnish Translate to French Translate to German Translate to Greek Translate to Hindi Translate to Italian Translate to Japanese Translate to Korean Translate to Norwegian Translate to Polish Translate to Portuguese Translate to Romanian Translate to Russian Translate to Spanish Translate to Swedish Translate to Slovak Translate to Serbian Translate to Thai Translate to Turkey Translate to Filipino Translate to Filipino